breaking

&Sabu

&Sabu

&Networks

&Networks

&Criminality

&Criminality

✦ ✦ Unlabelled ✦ Robby: Mafia in Politic

Share This

http://www.majalahtrust.com/indikator/advokasi/465.php

Politisi Busuk

Meski terbilang riskan dan rawan tuntutan hukum, niat ekonom Faisal Basri untuk memublikasikan daftar politisi busuk patutlah didukung. Sebab, bagaimanapun terpuruknya, bangsa kita memang tak lepas dari para ”wakil rakyat” yang telah mengkhianati semangat reformasi 1998.

Bagaimana para wakil rakyat, eh, wakil parpol itu tidak berkhianat? Dulu, tahun 1999 rakyat begitu antusias mendatangi bilik-bilik TPS alias tempat pemungutan suara. Kala itu mereka berharap para pendekar yang dipilihnya bakal memperjuangkan aspirasi mayoritas rakyat demi menggapai pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Keinginan yang sangat wajar, memang. Maklum selama 32 tahun kita berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang represif dan doyan merekayasa sesuatu. Tak kurang dari UU Pemilu dan UU Susunan dan Kedudukan Anggota DPR/MPR dibuat sedemikian rupa demi melanggengkan kekuasaan rezim Orde Baru. Teorinya, memang kedua perangkat hukum itu menjunjung tinggi netralitas. Namun pada kenyataannya semua sendi pemerintahan termasuk militer dipaksa mendukung partai berkuasa, Golkar.

Maka, pantas jika setelah Orde Baru tumbang, rakyat begitu bersemangat mengikuti pemilu. Tapi, harapan tinggal harapan. Para wakil parpol yang terhormat itu semakin hari kian jauh dari aspirasi rakyat. Lihat, mana ada sepak terjang mereka yang memenuhi aspirasi rakyat. Contoh paling anyar adalah proses pemilihan para personel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski suara publik condong pada sebuah nama yang kondang akan keteguhan sikapnya terhadap perilaku korup, toh para anggota dewan memilih nama lain. Celakanya, calon yang dipercaya memimpin lembaga super itu berasal dari sebuah institusi yang boleh dibilang karena kelemahannya menangani perkara korupsilah KPK lalu dibentuk.

Itu hanya satu contoh dari seabrek produk anggota dewan yang melukai hati rakyat. Tak aneh jika di balik produk yang diciptakan anggota dewan acap muncul bisik-bisik bahwa politik uang atau politik dagang sapi telah berperan dalam proses pembentukan produk legislatif itu.

Memang tuduhan itu tak mudah dibuktikan. Namun indikasi-indikasi ke arah itu sangatlah nyata. Betul, gaji para anggota dewan terbilang tinggi untuk ukuran rata-rata penghasilan orang Indonesia. Toh, kita tetap akan terbelalak saat melihat data kekayaan seorang anggota DPR yang dalam tempo kurang dari satu tahun sejak duduk di lembaga maha terhormat itu telah menggelembung nyaris 10 kali lipat.

Begitulah, kursi dewan agaknya memang sangat menjanjikan. Mungkin Anda masih ingat cerita 10 tahun lalu menyangkut Kanindotex. Kala itu, para anggota DPR sibuk mengobok-obok industri tekstil milik pengusaha yang mantan penyelundup mobil mewah, Robby Tjahjadi. Mereka sewot lantaran Kanindotex, yang beroperasi dengan dana pinjaman dari sejumlah bank pemerintah, ditengarai menggunakan mesin bekas. Bak kor, mereka pun sepakat menyatakan Kanindotex layak ditutup.

Namun Robby Tjahjadi tak kalah tangkas. Lalu diundanglah para legislator meninjau pabriknya ke Bawen di Jawa Tengah. Hasilnya, sekembalinya ke Jakarta, sang Ketua Komisi DPR menyatakan Kanindotex adalah aset nasional yang layak dipertahankan. Kok bisa? Bisik-bisik menyebutkan mereka telah mendapat amplop berisi duit jutaan rupiah.

Sejatinya perilaku korup anggota dewan sudah berlangsung sepanjang sejarah berdirinya badan perwakilan rakyat di negeri ini. Pemilu pertama yang digelar tahun 1955 dan disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia ujung-ujungnya juga hanya menghasilkan politisi busuk.

Awalnya, sepak terjang para politisi yang dipilih langsung oleh rakyat itu memang cukup meyakinkan. Namun perlahan tapi pasti, mereka akhirnya menanggalkan ”jubah” wakil rakyat menjadi wakil parpol. Bahkan menurut sejumlah pengamat politik, mayoritas para politisi ketika itu sengaja menggunakan partai mereka sebagai tangga untuk menggapai kehidupan mewah atau sebagai sarana persiapan guna banting setir menjadi seorang pengusaha.

Sekarang, fenomena itu masih terus berlanjut. Seorang caleg wanita bahkan tega merusak atribut partainya karena kecewa namanya yang semula dijanjikan menempati posisi nomor satu ternyata bergeser menjadi nomor tiga. Amarahnya meledak lantaran posisi nomor satu yang dijanjikan itu diperolehnya setelah menyetor dana Rp 50 juta ke partainya. Bagaimana kita bisa berharap pada caleg yang belum apa-apa sudah bersedia main sogok. Logikanya, buat apa dia menyetor duit sebanyak itu jika tak mengharapkan akan memperoleh ganti berlipat ganda kalau kelak terpilih sebagai wakil rakyat, eh wakil parpol. Dasar busuk!

About media

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: