breaking

&Sabu

&Sabu

&Networks

&Networks

&Criminality

&Criminality

✦ ✦ Unlabelled ✦ Phang Djun Phin, Triad Hoakiau; Lords of the Rim

Share This

Jurus Merapat Lewat Kocek Kandidat

MULYANA W. Kusumah memelototi lembar demi lembar kertas di depannya. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas memantau dana penyelenggaraan pemilu itu menyimak dengan saksama angka-angka yang tertera di dokumen. Ia tampak hati-hati ketika menyebut jumlah rupiah yang tercantum di laporan hasil audit dana sumbangan untuk calon presiden (capres). Sebab, deretan angka itulah yang belakangan ini menjadi buah bibir masyarakat. Rabu lalu, hasil audit tersebut diumumkan Mulyana di depan puluhan wartawan yang memenuhi Media Center KPU.

Hasil penelisikan lima auditor untuk masing-masing capres itu dinyatakan sah. Berdasarkan aturan, kata Mulyana, pihak auditor melakukan konfirmasi ke 30 penyumbang perusahaan dan 30 penyumbang individu, yang dipilih secara acak. "Dengan metode ini, memang tidak semua penyumbang terdeteksi," ungkap Mulyana.

Dari laporan yang sudah diaudit itu, dua pasangan yang melaju ke putaran kedua pemilihan presiden terbukti menerima sumbangan paling besar. Megawati-Hasyim Muzadi panen duit hingga Rp 105.204.654.143, sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-Kalla) mengantongi hingga Rp 70.201.139.770. Sumbangan dana kampanye untuk Mega diaudit Kantor Akuntan Publik Baehaqi dan Rekan, sedangkan dana untuk SBY diaudit Kantor Akuntan Publik Tjahjo, Machdjud Modopuro, dan Rekan.

Anggota KPU Ramlan Surbakti menyimpulkan, belum semua ketentuan dalam surat keputusan KPU dipatuhi tim kampanye masing-masing capres. Misalnya, masih ada sumbangan pihak ketiga yang tidak tercatat. Juga tidak semua sumbangan dimasukkan ke rekening resmi. Meski dengan catatan, toh hasil audit dana kampanye capres itu dinyatakan sah. "Kecuali kalau ada laporan mengenai korupsi, akan kami laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Mulyana.

Selesaikah tugas KPU mengontrol dana kampanye pemilihan presiden tahap pertama? Tunggu dulu. Ternyata, masih banyak dijumpai kejanggalan pada hasil audit tersebut. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Lucky Djani, menyebut adanya upaya pencantuman penyumbang fiktif sebagai upaya para kandidat presiden menutupi cukong yang sebenarnya. Kesimpulan itu diutarakan Lucky setelah lembaganya melakukan investigasi di beberapa kota.

Dalam investigasinya terhadap PT Mega Mulia Keramik yang disebutkan berlokasi di Semarang, misalnya, ICW dan Transparency International Indonesia (TII) tidak menemukan papan nama di alamat yang tertulis pada dokumen resmi. Pintu gerbang terkunci rapat, dan tidak terlihat adanya aktivitas perusahaan. Padahal, perusahaan ini tercatat menyumbang Rp 750 juta. Ternyata, perusahaan tersebut tidak terdaftar di database Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Badan Koordinasi Penanaman Modal Semarang.

Mega-Hasyim dan SBY-Kalla juga diduga menerima dana dari satu sumber melebihi batas maksimal sumbangan yang diizinkan. Supaya aman, sumbangan tersebut dipecah menjadi beberapa bagian mengatasnamakan berbagai perusahaan atau perorangan. Indikasi itu tampak jelas di laporan hasil audit dana kampanye untuk Mega-Hasyim.

Di kategori sumbangan perusahaan, ternyata beberapa perusahaan penyumbang dikendalikan konglomerat yang pernah berhubungan dengan Kejaksaan Agung lantaran tersangkut beberapa kasus dugaan korupsi. Mereka, antara lain, Djoko S. Tjandra dan Prajogo Pangestu. Djoko yang bernama asli Tjan Kok Hui itu pernah dituding sebagai otak dalam kasus cessie Bank Bali, yang dananya sempat mengalir ke kocek para petinggi Partai Golkar.

Sedangkan Prajogo alias Phang Djun Phin pernah berurusan dengan BPPN dalam kaitan penggunaan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia. Si "raja kayu" itu juga sempat diperiksa kejaksaan lantaran disangka mengorupsi dana reboisasi lewat perusahaannya, PT Musi Hutan Persada. Namun, Prajogo lolos dari jerat hukum.

Dari Grup Mulia milik Djoko Tjandra, tercatat 17 perusahaan yang masing-masing menyumbang Rp 750 juta, sesuai batas maksimum yang diizinkan KPU. Total kucuran dana ke kantong Mega-Hasyim dari Grup Mulia itu mencapai Rp 12,725 milyar (lihat tabel). Dari catatan ICW dan TII, lima perusahaan Grup Mulia dikomandani Handrian Tjahja. Perusahaan itu, antara lain, PT Mulia Cemerlang Dian Persada, PT Mulia Persada Tatalestari, PT Sanggar Mustika Indah, PT Mulia Land Tbk, dan PT Mulia Persada Pacific. Semuanya beralamat di Jalan H.R. Rasuna Said Kavling C-11-14, Jakarta. Selain itu, Handrian juga menjabat sebagai Direktur PT Muliaglass, sekaligus menjadi Komisaris PT Mulia Keramik Indahraya.

Menurut dokumen ICW, kemampuan keuangan perusahaan yang dipimpin Handrian berbeda-beda. Namun, semua perusahaan itu menyumbang dengan jumlah seragam. Karib Djoko Tjandra itu sempat memimpin PT Djakarta Country, perusahaan yang mewakili pengelola Hotel Mulia dalam kasus pelunasan tunggakan lima tahun retribusi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 15,139 milyar.

Ketika dikonfirmasi Rahman Muliya dari Gatra, Kris M. Mahdi, Corporate Secretary PT Mulia Land, induk perusahaan Mulia Persada Pacific, tampak kaget mendengar perusahaannya menjadi penyumbang kakap untuk Mega-Hasyim. Dia mengaku tidak mengetahui sumber dana untuk sumbangan tersebut. Hal senada dinyatakan oleh Nila Kusuma Dewi, Corporate Secretary PT Mulia Industrindo selaku induk perusahaan Muliaglass dan Mulia Keramik Indahraya.

Dari kubu Prajogo, tercatat 15 perusahaan yang mengalirkan dana ke tim kampanye Mega-Hasyim dengan jumlah total mencapai Rp 6,950 milyar (lihat tabel). Nama 15 perusahaan itu memang terdaftar di dokumen laporan tahunan PT Barito Pacific Timber Tbk dan data keluaran CISI Raya Utama. Berbeda dengan perusahaan di Grup Mulia yang menyumbang dana dengan jumlah sama, sekelompok anak perusahaan Barito menyumbang dengan jumlah berbeda-beda. Sumbangan terkecil diberikan atas nama PT Wahanaguna Margapratama, yakni senilai Rp 125 juta. Sedangkan sumbangan maksimum (Rp 750 juta) dipersembahkan PT Barito Pacific Timber Tbk dan PT Tunggal Agathis Indah Wood Industries.

Ketika Dessy Eresina dari Gatra mendatangi Wisma Barito Pacific di Jalan Letjen S. Parman, Jakarta, ditemukan beberapa kejanggalan. Tujuh perusahaan yang tercatat di dokumen beralamat di gedung ini ternyata tidak terdaftar sebagai penghuni Wisma Barito. Perusahaan tersebut, antara lain, PT Karunia Poladaya Abadi, PT Delta Mustika, PT Muktilestari Kencana, PT Bhakti Barito Agratama, PT Baritowood Sentosa International, PT Tunggal Setia Pratama, dan PT Wiradaya Lintas Sukses.

Juhannes Djalimin, selaku Direktur Utama PT Barito Pacific Timber Tbk, menjawab pertanyaan Gatra dengan kalimat singkat. Menurut dia, keputusan untuk menyumbang ke Mega-Hasyim disepakati oleh direksi secara demokratis, tanpa tekanan dari pihak mana pun. Selain memakai nama perusahaan, Juhannes secara pribadi menyumbang Rp 25 juta untuk Mega.

Langkah pengusaha untuk menyumbang dana ke capres, menurut Koordinator Pemantauan Dana Kampanye TII Ahsan Jamet Hamidi, sah saja. Juga tidak melanggar aturan. "Karena disiasati dengan cara memecah sumbangannya menjadi beberapa bagian, mengatasnamakan orang lain," kata Jamet.

Celah itu terbuka akibat kelemahan dalam prosedur audit dana capres. "Sebab, audit yang dilakukan bukan audit investigatif," tutur Jamet kepada Basfin Siregar dari Gatra. KPU hanya mensyaratkan metode audit yang disebut agreed upon procedure. Dengan sistem audit ini, laporan keuangan para capres dinilai berdasarkan prosedur yang ditetapkan KPU.

Teknik prosedur yang harus diikuti auditor tertuang dalam lampiran Surat Keputusan KPU Nomor 30. Tetapi, Jamet menilai prosedur audit yang ditetapkan KPU bersifat sangat umum, sehingga memungkinkan terjadinya penyelewengan. Auditor hanya diwajibkan mengecek, apakah orang yang tercantum di daftar penyumbang benar-benar menyumbangkan uang atau sekadar tokoh fiktif. Lemahnya lagi, tidak ada pasal yang mengatur sanksi bila terbukti ada pelanggaran.

Untuk mencegah penyelewengan, kata Jamet, KPU mestinya mewajibkan auditor melakukan audit investigatif. Dengan begitu, seorang akuntan publik berusaha mengorek lebih dalam lagi, apakah uang yang disumbangkan itu milik pribadi atau titipan orang lain.

Kelemahan itu pula yang bisa dimanfaatkan para pengusaha untuk merapatkan diri ke capres. Beberapa pengusaha kakap, seperti Djoko Tjandra dan Prajogo Pangestu, yang dulu akrab dengan petinggi Golkar ketika partai ini berkuasa, kini berebut simpati dari calon kuat RI-1. Caranya, menggelontorkan sumbangan sebesar mungkin, dengan cara mengakali aturan yang ada.

Menanggapi konfirmasi Gatra, Djoko Tjandra menganggap sumbangannya itu sebagai hak pribadi. Menurut dia, setiap perusahaan berhak memberikan sumbangan ke mana saja, asal sesuai aturan. "Kita memberikan ke partai yang kita sukai," katanya. Benarkah sumbangan itu terkait dengan kelancaran pencairan cessie Bank Bali ke koceknya? "Apa urusannya dengan Bank Bali, itu analisis yang terlalu jauh," ia menegaskan.

Bukan hanya Djoko dan Prajogo yang menyumbang Mega. Masih ada 375 penyumbang pribadi yang terdaftar, yang masing-masing tak boleh menyumbang lebih dari Rp 100 juta. Ditambah 165 perusahaan yang diizinkan menyetor maksimal Rp 750 juta. Belum termasuk pengusaha tak terdaftar, yang kabarnya gemar memberikan dana "siluman", sehingga tak terlacak KPU.

Menurut Heri Akhmadi, sekretaris tim Megawati-Hasyim, setiap sumbangan wajib diterima. "Ada orang nyumbang kok ditolak," ujarnya. Heri menegaskan, tidak mungkin institusinya memeriksa setiap saat rekening yang memang sengaja dibuka untuk umum itu.

Heri mengakui, beberapa kali capres jagoannya bertatap muka dengan para pengusaha dalam rangka panggalangan dana kampanye. Kalaupun pengusaha seperti Djoko Tjandra dan Prajogo menyumbang dalam bentuk apa pun, ia tidak bisa meminta balasan. "Sebelumnya kami sudah memberi tahu jika semua sumbangan tidak mengikat," katanya.

Heri memastikan bahwa sumbangan dana kampanye capres bukan ajang pencucian uang. Kata Heri, para pengusaha kakap itu cenderung menyumbang kepada siapa saja. "Jarang ada pengusaha yang menyumbang ke satu pihak saja. Ia pasti nyumbang di mana-mana," ungkapnya. Tetapi, hal itu memang sulit dibuktikan. Yang pasti, kata pepatah Inggris, "Tak ada makan siang yang gratis". Apalagi bagi pengusaha yang selalu berhitung untung-rugi.

About media

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: