Home
✦
✦ Unlabelled
✦ Cukongisme and Hoakiau's Anti-Assimilation
Cukongisme and Hoakiau's Anti-Assimilation
Posted by: media Posted date: 11:45 PM / comment : 1
"Ada lagi, kalo di kantor-kantor yang dikuasai cina seperti Panin Bank, BCA dan Lippo coba deh di lihat mana ada orang pribumi yang jadi boss atau punya wewenang sama dengan cina ? ngga ada khan ? Paling-paling jabatan tertentu saja lalu mentok. Gaji mereka dibedain. Kerja sama beratnya. Gajinya kecil, tapi kalo cina gaji besar padahal mereka itu ngga pinter-pinter amat. Dan itu diderita oleh orang-orang pribumi bukan hanya setahun dua tahun tapi puluhan tahun. Gaji tetap kecil."
Messages sorted by: [ date ][ thread ][ subject ][ author ]
Next message: Arif M.: "Re: Cina vs. Pribumi di Indonesia (Case Study: Malaysia)"
Next in thread: Arif M.: "Re: Cina vs. Pribumi di Indonesia (Case Study: Malaysia)"
Membicarakan mengenai keunggulan masyarakat keturunan Cina dibanding dengan masyarakat Pribumi di Indonesia sulit untuk mengakhirinya, terutama keunggulan mereka dibidang ekonomi. Bila kita mencoba menengok sejarah, kita akan mendapatkan beberapa fakta dimana keberhasilan perekonomian masyarakat Cina di Indonesia bukan hanya didukung oleh faktor budaya (internal explanation) tetapi juga disebabkan oleh faktor politik/kekuasaan/sistem (external explanation).
Lebih dari 18.5 juta orang Cina hidup dan menetap di luar negara Cina (PRC), dan 90% dari jumlah tersebut tinggal di Asia Tenggara (Chang, 1968). Indonesia sebagai negara yang mempunyai wilayah geografis terbesar di Asia Tenggara juga memiliki jumlah terbesar masyarakat Cina keturunan, atau sering disebut "overseas Chinese". Menurut keterangan dari Institute for Studies on Ethnic Chinese Assimilation yang dipimpin oleh H. Junus Jahya, populasi orang Cina di Indonesia berkisar antara 5-6% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Orang-orang Cina yang berada di Indonesia dahulu dibedakan antara Cina totok dan Cina peranakan. Tetapi kedua istilah tersebut sudah jarang lagi digunakan, karena mayoritas populasi Cina di Indonesia merupakan keturunan dari generasi ke-3 sampai ke-5, yang sudah lama menetap di bumi Indonesia.
Migrasi Cina (orang Cina) ke Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 bagian. Migrasi langsung (volunteer migration) sebelum tahun 1840; dan migrasi tidak langsung invited migration) antara tahun 1840-1940.
Sebelum tahun 1840, kebanyakan orang Cina yang datang ke Indonesia tidak beserta keluarganya. Tujuan migrasi mereka bukanlah untuk menetap selamanya, melainkan hanya untuk berdagang (sojourn migration). Tetapi banyak juga yang akhirnya memutuskan untuk menetap, dan menikah dengan orang Indonesia (nusantara). Hal ini juga dialami oleh para pedagang Arab yang datang ke Indonesia pada era yang sama. Malah pada abad ke-15 diketemukan koloni kecil orang-orang Cina di Palembang (Hidayat, 1976).
Antara tahun 1840-1940, merupakan puncak dari migrasi Cina ke Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ajakan pemerintah kolonial Belanda kepada para pedangan Cina untuk berdagang di bumi nusantara. Dalam beberapa tulisan, Pemerintah kolonial Belanda pun sengaja mendatangkan orang-orang Cina ke Indonesia untuk sebagai partner mereka dalam berbisnis. Mayoritas dari orang Cina yang datang ke Indonesia berasal dari 4 provinsi di Cina Selatan: Kwantung, Fukien, Hainan, dan Kwangsi. Orang-orang Cina ini tidak dikenal sebagai pedagang yang ulung. Kebanyakan dari mereka adalah tidak
berpendidikan (uneducated) dan tidak mempunyai keahlian berdagang (unskilled) (Skinner, 1957).
Setelah VOC (Verenigde Ost-Indische Compagnie) berdiri di kepulauan nusantara, pemerintah kolonial Belanda mulai melihat Cina di Indonesia sebagai saingan mereka dalam perdagangan. Oleh karena itu, pemerintah kolonial akhirnya memutuskan kebijakan politik untuk membagi penduduk Indonesia berdasarkan suku bangsa; Eropa (Belanda), Timur Asing (Cina dan Arab), dan Inlander (pribumi) (Wertheirm, 1964). Dampak dari pembagian masyarakat Indonesia berdasarkan suku-bangsa ini menimbulkan hubungan antar suku-bangsa menjadi tidak harmonis, dan masih terlihat sampai sekarang.
Kebijaksanaan politik pemerintah kolonial terhadap orang Cina di Indonesia merupakan faktor utama yang mendukung keberhasilan ekonomi Cina di Indonesia sebelum kemerdekaan (1945). Orang Cina di Indonesia ditempatkan sebagai penghubung (intermediate) antara orang kulit putih dan pribumi, khususnya di bidang ekonomi (middleman). Keistimewan-keistimewaan yang didapatkan oleh orang Cina di Indonesia, bukan hanya di bidang ekonomi saja, tetapi dalam bidang lainnya, seperti pendidikan, kebebasan berorganisasi, dlsb. Dengan cara seperti inilah, Belanda dapat menguasai
bumi nusantara selama 3,5 abad lamanya.
Dengan hengkangnya Belanda dari Indonesia, serta masuknya Jepang, ternyata kondisi yang berlaku tak jauh berbeda. Orang-orang Cina yang sudah lebih dahulu maju dalam perdagangan dan pendidikan juga akhirnya dipergunakan oleh kolonial Jepang sebagai partner mereka dalam berdagang. Meskipun organisasi-organisasi pemuda atau Islam spt Budi Utomo, Serikat Dagang Islam, dll, berusaha menyaingi pertumbuhan ekonomi orang Cina, tetapi usaha tersebut tidaklah berhasil, dikarenakan pengalaman serta networking pengusaha-pengusaha Cina sudah lama dan "well-established".
Pada era Soekarno, para kapitalis Cina mendapatkan tekanan-tekanan dari pemerintah yang disupport oleh PKI. Hal ini bisa dibuktikan dengan peraturan pemerintah yang melarang orang-orang Cina berdangang didaerah kecamatan dan desa. Bisnis mereka hanya boleh berada pada tingkat kabupaten saja. Oleh sebab itu, banyak dari keturunan para pedagang Cina yang besar, memberikan bantuan dana serta moril kepada para pelajar Indonesia yang aktif berusaha menggulingkan Soekarno dan PKI. Sementara
itu, beberapa orang Cina yang belum berhasil dalam kehidupan ekonominya, dan masih lebih membanggakan sebagai orang Cina ketimbang orang Indonesia, memihak kepada PKI yang juga didukung oleh PRC. Pada masa ini, Cina di Indonesia terpecah menjadi 2; pro komunis dan anti komunis. Mereka yang pro dengan PKI, mengembangkan organisasi kebudayaan Cina keturunan bernama THHK (Tiong Hoa Hwe Koan) yang didirikan pada tahun 1902.
Jatuhnya PKI dan Soekarno di Indonesia memberikan dampak yang besar kepada orang Cina di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berlangsung antara tahun 1965-1966 yang berakibat lansung kepada masyakarat Cina di Indonesia adalah (Suryadinata, 1982):
1. Pendirian BAPERKI (Badan Permusyawaran Kewarganegaraan Indonesia), sebuah organisasi yang didirikan oleh pemerintah Indonesia untuk mempersatukan seluruh etnis Cina di Indonesia.
2. Kudeta 1965, yang mengakibatkan konflik besar antara pribumi dan Cina
3. Terputusnya hubungan diplomatik antara Cina dengan Indonesia
4. Sekola-sekolah, organisasi2 serta media2 massa Cina dibubarkan oleh pemerintah
5. Orang-orang Cina diwajibkan untuk lebih berasimilasi dengan Pribumi, melalui
pergantian nama mereka ke nama yang lebih Indonesia.
Dengan naiknya pemerintah Orde Baru ternyata nasib orang Cina di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan sebelumnya, terutama dalam bidang ekonomi. Pemerintah orde baru yang memiliki izin untuk berbisnis (business licence) menyadari akan kekurangan mereka dalam pengalaman berdagang, ketimbang para taipan yang sudah mempunyai pengalaman serta networking yang teratur.
Kembali pemerintah (terutama militer), mengajak orang-orang Cina sebagai partner mereka dalam berbisnis. Hal ini dahulu dikenal dengan istilah "Ali-Baba", atau Cukongisme.
Praktek Cukongisme ini pun masih terlihat sampai sekarang, dan menimbulkan dampak yang besar terhadap perkenomian pribumi yang selama ini masih jauh tertinggal dari orang-orang Cina. Populasi Cina di Indonesia yang berkisar 5-6% ternyata menguasai 70% dari perekonomian Indonesia (terutama perekonomian kota) (Hadiwulih, 1994; Tanzer, 1994).
Pemerintah, dalam 10 tahun belakangan ini mulai menyadari akan kekurang-sehatan perekonomian Indonesia, yang sangat dikuasai oleh sekelompok orang saja. Oleh karena itu pemerintah mulai melancarkan beberapa program, spt pertemuan Tapos, Jimbaran dll, dalam upaya membagikan kesejahteraan konglomerat2 Cina kepada rekan sewarganegaranya yang notabene adalah pribumi, melalui cara pemberian2 bantuan modal. Meskipun telah banyak perjanjian yang telah diucapkan, ataupun pertemuan2 untuk membahas masalah ini, tetapi dalam kenyataannya praktek tersebut masih belum
dirasakan sempurna.
Bila kita menengok negara jiran kita, Malaysia, ternyata pemerintahan yang dipimpin oleh Mahathir Mohammad telah berhasil membuktikan bahwa sesungguhnya warga Melayu Malaysia dapat bersaing dengan orang-orang Cina.
Penduduk Malaysia yang hanya 20 juta ini dan terbatasnya sumber kekayaan alam yang tersedia, sejak tahun 1980 menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun, dan antara tahun 1991-1995, laju pertumbuhan tersebut naik menjadi 8.7% per tahun. Hasil tersebut merupakan kebijaksanaan PM Mahathir dan Menkeu Anwar Ibrahim yang berusaha mem-privatisasi segala bidang usaha yang tadinya dikuasai oleh pemerintah, sejak 1983; dan kebijakan penanaman modal asing bagi industri elektronik yang mengundang perusahaan2 eloktronik2 besar dunia untuk menanamkan modalnya di Malaysia.
GDP rata2 Malaysia yang berjumlah US.$ 4.800, jauh diatas Indonesia yang hanya US.$ 840, ternyata bukan hanya dinikmati oleh satu golongan etnis saja, melainkan etnis Melayu yang merupakan 60% dari total penduduk Malaysia. Hal ini merupakan upaya PM. Mahathir yang berusaha meningkatkan kemampuan ekonomi bumiputra yang ditargetkan pada tahun 1990 memiliki saham perusahaan secara nasional sebesar 30%, dengan program pemerintah NEP (New Economic Policy). Melalui kebijakan NEP ini, pengusaha2 lemah dan menengah bumiputera akhirnya terbukti dan sanggup untuk menandingi pengusaha2 Cina Malaysia. Bukan hanya itu, dalam era globalisasi ini (bordeless economy) pengusaha-pengusaha Cina Singapura dan Indonesia pun sudah menganggap
mereka sebagai saingan yang perlu diperhitungkan. Banyak proyek kerjasama antara pengusaha2 Cina Indonesia dengan pengusaha2 bumiputera Malaysia, baik di Indonesia maupun di Malaysia sendiri.
Kebijakan spt NEP dalam sociology of Ethnic Relations dikenal dengan istilah Affirmative Action/Positive Discrimination/Reverse Discrimination. Affirmative Action adalah kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan untuk membantu golongan minoritas yang mengalami diskriminasi dan tertinggal dalam pembangunan masyarakat. Minoritas disini bukan berarti jumlah semata, melainkan yang lebih penting adalah disadvantaged socially, economically, and politically.
Affirmative Action dikenal di Amerika Serita sejak tahun 1964, dengan berlakunya Civil Rights Act. Berhubungan dengan Affirmative Action ini, presiden Amerika kala itu, LB. Johnson mengatakan:
"You do not take a person who, for years, has been hobbled by chains and liberate him, bring him up to the starting line of a race and then say, 'you are free to compete with all the others,' and still justly believe that you have been completely fair."
Pada masyarakat yang multietnis (plural) seperti Amerika, Kanada dan Malaysia Affirmative Action telah banyak diupayakan. Di Amerika dan Kanada, golongan yang menikmati fasilitas ini adalah golongan masyarakat kulit hitam, dan minoritas lainnya, serta wanita. Di Amerika, kebijakan ini juga didukung oleh peraturan yang bernama Anti-Discrimination Act yang tujuannya untuk melindungi para pelamar sekolah serta kerja yang berasal dari golongan minoritas dari segala macam bentuk diskriminasi. Meskipun demikian masih dijumpai beberapa diskriminasi yang terjadi di kedua negara tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Meskipun di Indonesia sudah tdk lagi mengenal pembagian masyarakat berdasarkan etnis (pertanyaan akan etnis di sensus penduduk, terakhir tahun 1930), tetapi perbedaan dan persaingan antara satu etnis dengan etnis lainnya tak bisa dicegah. Dari mulai perbedaan yang terlihat jelas oleh mata, spt kulit, sampai dengan perbedaan kekuasaan/kemampuan.
Hubungan antar ras dan ethnis merupakan kontes kekuasaan. Golongan2 ras dan etnis, baik mereka sebagai grup yang dominan, yang terkuasai, ataupun setingkat, mengerahkan segala sumber yang dimilikinya untuk meraih dan mempertahankan kontrol terhadap struktur sosial yang berlaku disuatu masyakarat (Himes, 1973) Hubungan yang lebih jelas antara si pemegang kekuasaan (birokrat) dengan antar etnis dan ras, dapat dilihat melalui penjelasan Max Weber (1968): "a bureaucracy is unique within its system in that it provides a medium for the state to act exclusively from other
social institutions and to safegruard the mutual congruity of state actions
at the top of the rulling structure." Dalam konteks Weber, pemerintah mempunyai peranan yang penting (utama) dalam menciptakan kondisi yang harmonis diantara perbedaan ras dan etnis di masyarakat.
Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan berusaha merupakan basis dari embangunan ekonomi suatu golongan. Golongan etnis Cina di Indonesia telah lebih dahulu menikmati kemajuan pendidikan dan ekonomi ketimbang golongan pribumi. Dan kondisi ini tak akan jauh berbeda dimasa mendatang, bila pemerintah tidak berusaha memperbaikinya. Perbedaan2 inilah yang akhirnya dapat menyulut kekacauan2 sosial akibat ketimpangan yang dirasakan oleh golongan Pribumi atas golongan Cina, sehingga kita dapat menyaksikan sendiri beberapa usaha yang dimiliki oleh golongan Cina (sebagian pengusaha kecil/menengah) hancur, dibakar massa yang mengamuk dalam kejadian2 kerusuhan di tanah air belakangan ini.
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan keberhasilan seseorang untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Sejak dibukanya kesempatan bagi investor2 asing untuk menanamkan modalnya, banyak kita jumpai perusahaan2 multinasional mempunyai cabang di Indonesia. Perusahaan2 multinasional ini merupakan tujuan utama bagi para pekerja Indonesia yang berpendidikan, karena disamping pengalaman kerja yang sangat berguna, standar gaji pun berbeda (lebih tinggi) ketimbang perusahaan2 Indonesia. Selain perusahaan2 multinasional, perusahaan2 besar Indonesia (mayoritas dimiliki oleh
golongan Cina) juga merupakan sasaran utama pencari2 kerja berpendidikan.
Di perusahaan2 besar Indonesia yang dimiliki oleh golongan Cina, terdapat anggapan umum untuk lebih memprioritaskan mereka yang berasal dari golongan yang sama (Cina), ketimbang pribumi. Anggapan umum ini, meskipun tidak tertulis, tetapi pada kenyataannya terjadi di berbagai perusahaan. Bagi pekerja pribumi yang berhasil mendapatkan kerja di perusahaan2 tersebut mengalami diskriminasi struktural, atau lebih dikenal dengan istilah "glass ceiling" (terlihat tapi tak terjangkau). Kalau bukan mereka adalah seorang pejabat, atau anak pejabat, akan sulit bagi mereka untuk meraih posisi di top level management.
Di perusahaan2 multinasional di Indonesia, diskriminasi struktural ini bisa dikatakan tak terjadi, karena perusahaan2 ini lebih mementingkan kualitas si pekerja ketimbang ras/etnis. Tetapi pada kenyataannya, golongan Cina lah yang juga mampu mengisi posisi2 diperusahaan multinasional tersebut.
Ini dikarenakan oleh kualitas dari pelamar2 kerja keturunan Cina lebih tinggi daripada pelamar2 pribumi. Kenapa mereka lebih tinggi? Perusahaan2 multinasional ataupun nasional lebih ingin mendapatkan pekerja yang memiliki wawasan luas, nilai akademis yang tinggi, serta kemampuan berbahasa Inggris/asing yang bagus. Kriteria2 tersebut secara tidak langsung memberikan porsi yang lebih besar kepada mahasiswa2 lulusan luar negeri dalam mendapatkan pekerjaan, terutama dalam kemampuannya berbahasa Inggris/asing. Siapakah para mahasiswa Indonesia tamatan luar negri ini?
Berdasarkan data dari Departement Pendidikan Amerika Serikat, ditahun 1996 terdapat 12,000 Mahasiswa Indonesia yang tersebar di berbagai state. Penilitan saya yang menggunakan national convenience sample ditahun 1996, sebagian besar (lebih dari 70%) mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat berasal dari golongan Cina. Dan selebihnya adalah pelajar2 dari golongan pribumi yang terbagi antara pelajar "ayah-bunda", biaya sendiri, dan pelajar kiriman negara "karya-siswa".
Pelajar Indonesia yang berada di Australia, menurut Menteri Pendidikan Australia, juga berkisar 12,000 pelajar. Dan anggapan saya, bahwa mayoritas dari jumlah tersebut adalah dari golongan Cina. Proporsi ini mungkin tidaklah jauh berbeda dengan pelajar2 Indonesia di Eropa.
Kebanyakan dari mereka (pelajar Indonesia di mancanegara) nantinya akan pulang, dan akan bersaing dengan pelajar2 Indonesia lulusan dalam negri untuk mendapatkan kesempatan bekerja. Bila kita memakai indikator kerja di perusahaan2 besar multinasional dan nasional, maka diperkirakan bahwa mahasiswa2 lulusan LN, akan sedikit lebih beruntung ketimbang lulusan dalam negri. Favoritism lulusan luar negri masih terus terjadi di perusahaan2 di Indonesia, meskipun kualitas lulusan dalam negri juga dapat bersaing dengan lulusan luar negri. Dari mahasiswa lulusan LN ini, sudah pasti dapat ditebak, kebanyakan adalah mahasiswa golongan Cina. Dan sementara proporsi jumlah mahasiswa Indonesia di LN tidak berubah, maka perekonomian Indonesia
akan terus dikuasai oleh golongan Cina dimasa mendatang.
Banyaknya mahasiswa Indonesia golongan Cina di mancanegara disebabkan oleh banyak faktor, yang antara lain adalah: kurangnya kesempatan bagi mereka untuk masuk ke perguruan tinggi negri, harapan keberhasilan di masa depan dengan melihat faktor favoritsm lulusan LN, dll. Oleh karena disebabkan faktor2 ini, maka segala upaya diusahakan oleh orang2-tua golongan Cina untuk menyekolahkan anaknya di LN, dan hal ini tdk hanya terbatas bagi golongan Cina yang mampu saja. Lalu apakah pribumi akan terus kalah bersaing dengan golongan Cina dibidang ekonomi?
Jawabannya akan sangat tergantung kepada kondisi yang berlaku. Kembali ke topik Affirmative Action diatas, mungkin sudah selayaknya pemerintah Indonesia menerapkan kebijaksanaan serupa yang terbukti berhasil di Malaysia. Pemberian hak2 istimewa kepada suatu golongan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan negatif lainnya, spt "inferiority complex" yang bisa dimiliki oleh golongan pribumi untuk berhasil dalam bidang ekonomi dll.
Bermula dari infeority ini, akan timbul kecemburuan yang mana akhirnya dapat menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan. Pemerintah Malaysia selain menerapkan kebijakan NEP, mereka aktif mengirimkan para pelajar golongan bumiputera ke mancanegara, dengan berbagai program beasiswa dan kredit lunak (soft loan). Berbeda dengan pemerintah Indonesia, pemerintah Malaysia tidak mengharus si penerima
beasiswa/soft loan untuk bekerja di instansi2 pemerintah sekembalinya mereka ke tanah air. Perusahaan2 Malaysia yang aktif memberikan beasiswa dan soft loan, ini kita kenal spt MARA, Petronas, dll.
Selain daripada kebijakan Affirmative Action dan pemberian beasiswa/soft loan kepada golongan Pribumi, yang juga merupakan faktor penting adalah memperbaiki kondisi birokrasi di Indonesia, yang selama ini kurang bersahabat dengan pengusaha2 lemah/menengah. Bank2 besar selama ini lebih ramah terhadap para pengusaha2 dari golongan Cina ketimbang pengusaha2 Indonesia (khususnya pengusaha lemah dan menengah). Sudah barang tentu permainan korupsi dan kolusi memberikan peran yang besar terhadap terciptanya kondisi spt ini.
Perang terhadap korupsi dan kolusi sedang dan terus dilakukan oleh pemerintah Malaysia, pimpinan Mahathir Mohammad. Beberapa mentri serta pejabat tinggi telah masuk dalam perangkap tim anti-korupsi yang dibentuk oleh pemerintah Malaysia, satu diantaranya adalah wakil ketua UMNO (yang tertangkap di Australia) pekan lalu. Tindakan2 Mahathir dan Anwar Ibrahim telah mengantarkan masyarakat Malaysia, terutama golongan bumiputera untuk menyongsong hari depan yang cerah. Haruskan kita belajar dari Malaysia??
Mohammad Najib
Messages sorted by: [ date ][ thread ][ subject ][ author ]
Next message: Arif M.: "Re: Cina vs. Pribumi di Indonesia (Case Study: Malaysia)"
Next in thread: Arif M.: "Re: Cina vs. Pribumi di Indonesia (Case Study: Malaysia)"
Membicarakan mengenai keunggulan masyarakat keturunan Cina dibanding dengan masyarakat Pribumi di Indonesia sulit untuk mengakhirinya, terutama keunggulan mereka dibidang ekonomi. Bila kita mencoba menengok sejarah, kita akan mendapatkan beberapa fakta dimana keberhasilan perekonomian masyarakat Cina di Indonesia bukan hanya didukung oleh faktor budaya (internal explanation) tetapi juga disebabkan oleh faktor politik/kekuasaan/sistem (external explanation).
Lebih dari 18.5 juta orang Cina hidup dan menetap di luar negara Cina (PRC), dan 90% dari jumlah tersebut tinggal di Asia Tenggara (Chang, 1968). Indonesia sebagai negara yang mempunyai wilayah geografis terbesar di Asia Tenggara juga memiliki jumlah terbesar masyarakat Cina keturunan, atau sering disebut "overseas Chinese". Menurut keterangan dari Institute for Studies on Ethnic Chinese Assimilation yang dipimpin oleh H. Junus Jahya, populasi orang Cina di Indonesia berkisar antara 5-6% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Orang-orang Cina yang berada di Indonesia dahulu dibedakan antara Cina totok dan Cina peranakan. Tetapi kedua istilah tersebut sudah jarang lagi digunakan, karena mayoritas populasi Cina di Indonesia merupakan keturunan dari generasi ke-3 sampai ke-5, yang sudah lama menetap di bumi Indonesia.
Migrasi Cina (orang Cina) ke Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 bagian. Migrasi langsung (volunteer migration) sebelum tahun 1840; dan migrasi tidak langsung invited migration) antara tahun 1840-1940.
Sebelum tahun 1840, kebanyakan orang Cina yang datang ke Indonesia tidak beserta keluarganya. Tujuan migrasi mereka bukanlah untuk menetap selamanya, melainkan hanya untuk berdagang (sojourn migration). Tetapi banyak juga yang akhirnya memutuskan untuk menetap, dan menikah dengan orang Indonesia (nusantara). Hal ini juga dialami oleh para pedagang Arab yang datang ke Indonesia pada era yang sama. Malah pada abad ke-15 diketemukan koloni kecil orang-orang Cina di Palembang (Hidayat, 1976).
Antara tahun 1840-1940, merupakan puncak dari migrasi Cina ke Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ajakan pemerintah kolonial Belanda kepada para pedangan Cina untuk berdagang di bumi nusantara. Dalam beberapa tulisan, Pemerintah kolonial Belanda pun sengaja mendatangkan orang-orang Cina ke Indonesia untuk sebagai partner mereka dalam berbisnis. Mayoritas dari orang Cina yang datang ke Indonesia berasal dari 4 provinsi di Cina Selatan: Kwantung, Fukien, Hainan, dan Kwangsi. Orang-orang Cina ini tidak dikenal sebagai pedagang yang ulung. Kebanyakan dari mereka adalah tidak
berpendidikan (uneducated) dan tidak mempunyai keahlian berdagang (unskilled) (Skinner, 1957).
Setelah VOC (Verenigde Ost-Indische Compagnie) berdiri di kepulauan nusantara, pemerintah kolonial Belanda mulai melihat Cina di Indonesia sebagai saingan mereka dalam perdagangan. Oleh karena itu, pemerintah kolonial akhirnya memutuskan kebijakan politik untuk membagi penduduk Indonesia berdasarkan suku bangsa; Eropa (Belanda), Timur Asing (Cina dan Arab), dan Inlander (pribumi) (Wertheirm, 1964). Dampak dari pembagian masyarakat Indonesia berdasarkan suku-bangsa ini menimbulkan hubungan antar suku-bangsa menjadi tidak harmonis, dan masih terlihat sampai sekarang.
Kebijaksanaan politik pemerintah kolonial terhadap orang Cina di Indonesia merupakan faktor utama yang mendukung keberhasilan ekonomi Cina di Indonesia sebelum kemerdekaan (1945). Orang Cina di Indonesia ditempatkan sebagai penghubung (intermediate) antara orang kulit putih dan pribumi, khususnya di bidang ekonomi (middleman). Keistimewan-keistimewaan yang didapatkan oleh orang Cina di Indonesia, bukan hanya di bidang ekonomi saja, tetapi dalam bidang lainnya, seperti pendidikan, kebebasan berorganisasi, dlsb. Dengan cara seperti inilah, Belanda dapat menguasai
bumi nusantara selama 3,5 abad lamanya.
Dengan hengkangnya Belanda dari Indonesia, serta masuknya Jepang, ternyata kondisi yang berlaku tak jauh berbeda. Orang-orang Cina yang sudah lebih dahulu maju dalam perdagangan dan pendidikan juga akhirnya dipergunakan oleh kolonial Jepang sebagai partner mereka dalam berdagang. Meskipun organisasi-organisasi pemuda atau Islam spt Budi Utomo, Serikat Dagang Islam, dll, berusaha menyaingi pertumbuhan ekonomi orang Cina, tetapi usaha tersebut tidaklah berhasil, dikarenakan pengalaman serta networking pengusaha-pengusaha Cina sudah lama dan "well-established".
Pada era Soekarno, para kapitalis Cina mendapatkan tekanan-tekanan dari pemerintah yang disupport oleh PKI. Hal ini bisa dibuktikan dengan peraturan pemerintah yang melarang orang-orang Cina berdangang didaerah kecamatan dan desa. Bisnis mereka hanya boleh berada pada tingkat kabupaten saja. Oleh sebab itu, banyak dari keturunan para pedagang Cina yang besar, memberikan bantuan dana serta moril kepada para pelajar Indonesia yang aktif berusaha menggulingkan Soekarno dan PKI. Sementara
itu, beberapa orang Cina yang belum berhasil dalam kehidupan ekonominya, dan masih lebih membanggakan sebagai orang Cina ketimbang orang Indonesia, memihak kepada PKI yang juga didukung oleh PRC. Pada masa ini, Cina di Indonesia terpecah menjadi 2; pro komunis dan anti komunis. Mereka yang pro dengan PKI, mengembangkan organisasi kebudayaan Cina keturunan bernama THHK (Tiong Hoa Hwe Koan) yang didirikan pada tahun 1902.
Jatuhnya PKI dan Soekarno di Indonesia memberikan dampak yang besar kepada orang Cina di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berlangsung antara tahun 1965-1966 yang berakibat lansung kepada masyakarat Cina di Indonesia adalah (Suryadinata, 1982):
1. Pendirian BAPERKI (Badan Permusyawaran Kewarganegaraan Indonesia), sebuah organisasi yang didirikan oleh pemerintah Indonesia untuk mempersatukan seluruh etnis Cina di Indonesia.
2. Kudeta 1965, yang mengakibatkan konflik besar antara pribumi dan Cina
3. Terputusnya hubungan diplomatik antara Cina dengan Indonesia
4. Sekola-sekolah, organisasi2 serta media2 massa Cina dibubarkan oleh pemerintah
5. Orang-orang Cina diwajibkan untuk lebih berasimilasi dengan Pribumi, melalui
pergantian nama mereka ke nama yang lebih Indonesia.
Dengan naiknya pemerintah Orde Baru ternyata nasib orang Cina di Indonesia tidaklah jauh berbeda dengan sebelumnya, terutama dalam bidang ekonomi. Pemerintah orde baru yang memiliki izin untuk berbisnis (business licence) menyadari akan kekurangan mereka dalam pengalaman berdagang, ketimbang para taipan yang sudah mempunyai pengalaman serta networking yang teratur.
Kembali pemerintah (terutama militer), mengajak orang-orang Cina sebagai partner mereka dalam berbisnis. Hal ini dahulu dikenal dengan istilah "Ali-Baba", atau Cukongisme.
Praktek Cukongisme ini pun masih terlihat sampai sekarang, dan menimbulkan dampak yang besar terhadap perkenomian pribumi yang selama ini masih jauh tertinggal dari orang-orang Cina. Populasi Cina di Indonesia yang berkisar 5-6% ternyata menguasai 70% dari perekonomian Indonesia (terutama perekonomian kota) (Hadiwulih, 1994; Tanzer, 1994).
Pemerintah, dalam 10 tahun belakangan ini mulai menyadari akan kekurang-sehatan perekonomian Indonesia, yang sangat dikuasai oleh sekelompok orang saja. Oleh karena itu pemerintah mulai melancarkan beberapa program, spt pertemuan Tapos, Jimbaran dll, dalam upaya membagikan kesejahteraan konglomerat2 Cina kepada rekan sewarganegaranya yang notabene adalah pribumi, melalui cara pemberian2 bantuan modal. Meskipun telah banyak perjanjian yang telah diucapkan, ataupun pertemuan2 untuk membahas masalah ini, tetapi dalam kenyataannya praktek tersebut masih belum
dirasakan sempurna.
Bila kita menengok negara jiran kita, Malaysia, ternyata pemerintahan yang dipimpin oleh Mahathir Mohammad telah berhasil membuktikan bahwa sesungguhnya warga Melayu Malaysia dapat bersaing dengan orang-orang Cina.
Penduduk Malaysia yang hanya 20 juta ini dan terbatasnya sumber kekayaan alam yang tersedia, sejak tahun 1980 menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 8% per tahun, dan antara tahun 1991-1995, laju pertumbuhan tersebut naik menjadi 8.7% per tahun. Hasil tersebut merupakan kebijaksanaan PM Mahathir dan Menkeu Anwar Ibrahim yang berusaha mem-privatisasi segala bidang usaha yang tadinya dikuasai oleh pemerintah, sejak 1983; dan kebijakan penanaman modal asing bagi industri elektronik yang mengundang perusahaan2 eloktronik2 besar dunia untuk menanamkan modalnya di Malaysia.
GDP rata2 Malaysia yang berjumlah US.$ 4.800, jauh diatas Indonesia yang hanya US.$ 840, ternyata bukan hanya dinikmati oleh satu golongan etnis saja, melainkan etnis Melayu yang merupakan 60% dari total penduduk Malaysia. Hal ini merupakan upaya PM. Mahathir yang berusaha meningkatkan kemampuan ekonomi bumiputra yang ditargetkan pada tahun 1990 memiliki saham perusahaan secara nasional sebesar 30%, dengan program pemerintah NEP (New Economic Policy). Melalui kebijakan NEP ini, pengusaha2 lemah dan menengah bumiputera akhirnya terbukti dan sanggup untuk menandingi pengusaha2 Cina Malaysia. Bukan hanya itu, dalam era globalisasi ini (bordeless economy) pengusaha-pengusaha Cina Singapura dan Indonesia pun sudah menganggap
mereka sebagai saingan yang perlu diperhitungkan. Banyak proyek kerjasama antara pengusaha2 Cina Indonesia dengan pengusaha2 bumiputera Malaysia, baik di Indonesia maupun di Malaysia sendiri.
Kebijakan spt NEP dalam sociology of Ethnic Relations dikenal dengan istilah Affirmative Action/Positive Discrimination/Reverse Discrimination. Affirmative Action adalah kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan untuk membantu golongan minoritas yang mengalami diskriminasi dan tertinggal dalam pembangunan masyarakat. Minoritas disini bukan berarti jumlah semata, melainkan yang lebih penting adalah disadvantaged socially, economically, and politically.
Affirmative Action dikenal di Amerika Serita sejak tahun 1964, dengan berlakunya Civil Rights Act. Berhubungan dengan Affirmative Action ini, presiden Amerika kala itu, LB. Johnson mengatakan:
"You do not take a person who, for years, has been hobbled by chains and liberate him, bring him up to the starting line of a race and then say, 'you are free to compete with all the others,' and still justly believe that you have been completely fair."
Pada masyarakat yang multietnis (plural) seperti Amerika, Kanada dan Malaysia Affirmative Action telah banyak diupayakan. Di Amerika dan Kanada, golongan yang menikmati fasilitas ini adalah golongan masyarakat kulit hitam, dan minoritas lainnya, serta wanita. Di Amerika, kebijakan ini juga didukung oleh peraturan yang bernama Anti-Discrimination Act yang tujuannya untuk melindungi para pelamar sekolah serta kerja yang berasal dari golongan minoritas dari segala macam bentuk diskriminasi. Meskipun demikian masih dijumpai beberapa diskriminasi yang terjadi di kedua negara tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Meskipun di Indonesia sudah tdk lagi mengenal pembagian masyarakat berdasarkan etnis (pertanyaan akan etnis di sensus penduduk, terakhir tahun 1930), tetapi perbedaan dan persaingan antara satu etnis dengan etnis lainnya tak bisa dicegah. Dari mulai perbedaan yang terlihat jelas oleh mata, spt kulit, sampai dengan perbedaan kekuasaan/kemampuan.
Hubungan antar ras dan ethnis merupakan kontes kekuasaan. Golongan2 ras dan etnis, baik mereka sebagai grup yang dominan, yang terkuasai, ataupun setingkat, mengerahkan segala sumber yang dimilikinya untuk meraih dan mempertahankan kontrol terhadap struktur sosial yang berlaku disuatu masyakarat (Himes, 1973) Hubungan yang lebih jelas antara si pemegang kekuasaan (birokrat) dengan antar etnis dan ras, dapat dilihat melalui penjelasan Max Weber (1968): "a bureaucracy is unique within its system in that it provides a medium for the state to act exclusively from other
social institutions and to safegruard the mutual congruity of state actions
at the top of the rulling structure." Dalam konteks Weber, pemerintah mempunyai peranan yang penting (utama) dalam menciptakan kondisi yang harmonis diantara perbedaan ras dan etnis di masyarakat.
Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan berusaha merupakan basis dari embangunan ekonomi suatu golongan. Golongan etnis Cina di Indonesia telah lebih dahulu menikmati kemajuan pendidikan dan ekonomi ketimbang golongan pribumi. Dan kondisi ini tak akan jauh berbeda dimasa mendatang, bila pemerintah tidak berusaha memperbaikinya. Perbedaan2 inilah yang akhirnya dapat menyulut kekacauan2 sosial akibat ketimpangan yang dirasakan oleh golongan Pribumi atas golongan Cina, sehingga kita dapat menyaksikan sendiri beberapa usaha yang dimiliki oleh golongan Cina (sebagian pengusaha kecil/menengah) hancur, dibakar massa yang mengamuk dalam kejadian2 kerusuhan di tanah air belakangan ini.
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan keberhasilan seseorang untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Sejak dibukanya kesempatan bagi investor2 asing untuk menanamkan modalnya, banyak kita jumpai perusahaan2 multinasional mempunyai cabang di Indonesia. Perusahaan2 multinasional ini merupakan tujuan utama bagi para pekerja Indonesia yang berpendidikan, karena disamping pengalaman kerja yang sangat berguna, standar gaji pun berbeda (lebih tinggi) ketimbang perusahaan2 Indonesia. Selain perusahaan2 multinasional, perusahaan2 besar Indonesia (mayoritas dimiliki oleh
golongan Cina) juga merupakan sasaran utama pencari2 kerja berpendidikan.
Di perusahaan2 besar Indonesia yang dimiliki oleh golongan Cina, terdapat anggapan umum untuk lebih memprioritaskan mereka yang berasal dari golongan yang sama (Cina), ketimbang pribumi. Anggapan umum ini, meskipun tidak tertulis, tetapi pada kenyataannya terjadi di berbagai perusahaan. Bagi pekerja pribumi yang berhasil mendapatkan kerja di perusahaan2 tersebut mengalami diskriminasi struktural, atau lebih dikenal dengan istilah "glass ceiling" (terlihat tapi tak terjangkau). Kalau bukan mereka adalah seorang pejabat, atau anak pejabat, akan sulit bagi mereka untuk meraih posisi di top level management.
Di perusahaan2 multinasional di Indonesia, diskriminasi struktural ini bisa dikatakan tak terjadi, karena perusahaan2 ini lebih mementingkan kualitas si pekerja ketimbang ras/etnis. Tetapi pada kenyataannya, golongan Cina lah yang juga mampu mengisi posisi2 diperusahaan multinasional tersebut.
Ini dikarenakan oleh kualitas dari pelamar2 kerja keturunan Cina lebih tinggi daripada pelamar2 pribumi. Kenapa mereka lebih tinggi? Perusahaan2 multinasional ataupun nasional lebih ingin mendapatkan pekerja yang memiliki wawasan luas, nilai akademis yang tinggi, serta kemampuan berbahasa Inggris/asing yang bagus. Kriteria2 tersebut secara tidak langsung memberikan porsi yang lebih besar kepada mahasiswa2 lulusan luar negeri dalam mendapatkan pekerjaan, terutama dalam kemampuannya berbahasa Inggris/asing. Siapakah para mahasiswa Indonesia tamatan luar negri ini?
Berdasarkan data dari Departement Pendidikan Amerika Serikat, ditahun 1996 terdapat 12,000 Mahasiswa Indonesia yang tersebar di berbagai state. Penilitan saya yang menggunakan national convenience sample ditahun 1996, sebagian besar (lebih dari 70%) mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat berasal dari golongan Cina. Dan selebihnya adalah pelajar2 dari golongan pribumi yang terbagi antara pelajar "ayah-bunda", biaya sendiri, dan pelajar kiriman negara "karya-siswa".
Pelajar Indonesia yang berada di Australia, menurut Menteri Pendidikan Australia, juga berkisar 12,000 pelajar. Dan anggapan saya, bahwa mayoritas dari jumlah tersebut adalah dari golongan Cina. Proporsi ini mungkin tidaklah jauh berbeda dengan pelajar2 Indonesia di Eropa.
Kebanyakan dari mereka (pelajar Indonesia di mancanegara) nantinya akan pulang, dan akan bersaing dengan pelajar2 Indonesia lulusan dalam negri untuk mendapatkan kesempatan bekerja. Bila kita memakai indikator kerja di perusahaan2 besar multinasional dan nasional, maka diperkirakan bahwa mahasiswa2 lulusan LN, akan sedikit lebih beruntung ketimbang lulusan dalam negri. Favoritism lulusan luar negri masih terus terjadi di perusahaan2 di Indonesia, meskipun kualitas lulusan dalam negri juga dapat bersaing dengan lulusan luar negri. Dari mahasiswa lulusan LN ini, sudah pasti dapat ditebak, kebanyakan adalah mahasiswa golongan Cina. Dan sementara proporsi jumlah mahasiswa Indonesia di LN tidak berubah, maka perekonomian Indonesia
akan terus dikuasai oleh golongan Cina dimasa mendatang.
Banyaknya mahasiswa Indonesia golongan Cina di mancanegara disebabkan oleh banyak faktor, yang antara lain adalah: kurangnya kesempatan bagi mereka untuk masuk ke perguruan tinggi negri, harapan keberhasilan di masa depan dengan melihat faktor favoritsm lulusan LN, dll. Oleh karena disebabkan faktor2 ini, maka segala upaya diusahakan oleh orang2-tua golongan Cina untuk menyekolahkan anaknya di LN, dan hal ini tdk hanya terbatas bagi golongan Cina yang mampu saja. Lalu apakah pribumi akan terus kalah bersaing dengan golongan Cina dibidang ekonomi?
Jawabannya akan sangat tergantung kepada kondisi yang berlaku. Kembali ke topik Affirmative Action diatas, mungkin sudah selayaknya pemerintah Indonesia menerapkan kebijaksanaan serupa yang terbukti berhasil di Malaysia. Pemberian hak2 istimewa kepada suatu golongan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan negatif lainnya, spt "inferiority complex" yang bisa dimiliki oleh golongan pribumi untuk berhasil dalam bidang ekonomi dll.
Bermula dari infeority ini, akan timbul kecemburuan yang mana akhirnya dapat menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan. Pemerintah Malaysia selain menerapkan kebijakan NEP, mereka aktif mengirimkan para pelajar golongan bumiputera ke mancanegara, dengan berbagai program beasiswa dan kredit lunak (soft loan). Berbeda dengan pemerintah Indonesia, pemerintah Malaysia tidak mengharus si penerima
beasiswa/soft loan untuk bekerja di instansi2 pemerintah sekembalinya mereka ke tanah air. Perusahaan2 Malaysia yang aktif memberikan beasiswa dan soft loan, ini kita kenal spt MARA, Petronas, dll.
Selain daripada kebijakan Affirmative Action dan pemberian beasiswa/soft loan kepada golongan Pribumi, yang juga merupakan faktor penting adalah memperbaiki kondisi birokrasi di Indonesia, yang selama ini kurang bersahabat dengan pengusaha2 lemah/menengah. Bank2 besar selama ini lebih ramah terhadap para pengusaha2 dari golongan Cina ketimbang pengusaha2 Indonesia (khususnya pengusaha lemah dan menengah). Sudah barang tentu permainan korupsi dan kolusi memberikan peran yang besar terhadap terciptanya kondisi spt ini.
Perang terhadap korupsi dan kolusi sedang dan terus dilakukan oleh pemerintah Malaysia, pimpinan Mahathir Mohammad. Beberapa mentri serta pejabat tinggi telah masuk dalam perangkap tim anti-korupsi yang dibentuk oleh pemerintah Malaysia, satu diantaranya adalah wakil ketua UMNO (yang tertangkap di Australia) pekan lalu. Tindakan2 Mahathir dan Anwar Ibrahim telah mengantarkan masyarakat Malaysia, terutama golongan bumiputera untuk menyongsong hari depan yang cerah. Haruskan kita belajar dari Malaysia??
Mohammad Najib
About media
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Latest
Popular Posts
-
DI dunia remang-remang, nama "Gang of Nine" menjadi legenda. Dibekingi Keluarga Cendana dan petinggi militer, segala sepak terjang...
-
Jaringan Sembilan Naga menembus berbagai daerah di Indonesia. Upeti untuk pejabat militer, kepolisian, atau pemda, membuat bisnis ini kian k...
-
TOMMY Winata sedang melakoni sebuah pepatah Cina. Nasib orang, kata ungkapan kuno itu, seperti roda pedati: sekali waktu di atas, sekali wak...
1 comment:
Sebenarnya hal ini juga berlaku pada pribumi itu sendiri , selalu merasa hebat sedangkan orang cina punya prinsip " sudahlah " jadi bisa dikatakan orang cina lebih menerima apa adanya dan kalau orang cina bisa pada kedudukan yang tinggi itu karena kualitasnya jadi mana hal yang harus diperdebatkan ? Orang pribumi lebih suka berleha-leha dan senang mengejek saja tanpa melihat kenyataan , kalau ingin melihat diskriminasi lihat saja para pegawai negeri apa ada orang cina yang masuk tidak bukan! Karena itu dikuasai oleh pribumi , lagian orang cina juga males masuk pns habis duit banyak bagusan duitnya buat usaha, untuk penulis ngaca dulu baru ngomong
Post a Comment