breaking

&Sabu

&Sabu

&Networks

&Networks

&Criminality

&Criminality

✦ ✦ Unlabelled ✦ Alih Generasi; Pemain Baru

Share This

TRIHATMA K Haliman terdiam sejenak tatkala ditanya apakah ia memang dipersiapkan ayahnya, almarhum Anton Haliman, untuk menyambung estafet kepemimpinan di Grup Agung Podomoro.

Ia menyebutkan, ayahnya sangat bisa membedakan hubungan ayah anak dengan pekerjaan. Di rumah, Trihatma dan saudara-saudaranya benar-benar mendapat curahan kasih sayang. Namun di lapangan, almarhum tidak membeda-bedakan. Anak-anaknya disamakan dengan karyawan lain. Kami disuruh belajar habis-habisan di lapangan, mulai dari strata terbawah.

"Mungkin itu salah satu faktor yang memberi kami pemahaman yang dalam tentang profesionalisme," kata Trihatma. Pria berusia setengah baya ini mengungkapkan kebahagiaannya karena pernah melalui pendidikan keras dari ayahandanya.

Trihatma merupakan salah satu contoh dan tipikal dari generasi kedua di dunia bisnis Indonesia yang mengawali kariernya dari level terbawah. Ia kemudian tidak saja ikut mengemudikan perusahaan yang ditinggalkan ayahnya, tetapi melebarkan sayap melalui pengembangan banyak megaproyek properti. Padahal, "gebrakan menentukan" Trihatma praktis baru dilakukan dalam dua atau tiga tahun terakhir. Namun, mungkin inilah yang kemudian membuat Trihatma "dipandang" oleh para pemain properti lainnya.

TERDAPAT banyak generasi kedua usahawan Indonesia, termasuk di bidang properti, yang menunjukkan kinerja mapan seperti Trihatma, di antaranya Jan Darmadi, pengembang senior yang dua dasa warsa lalu bahkan sudah membangun gedung pencakar langit di Jalan MH Thamrin dan HR Rasuna Said. Jan, putra seorang usahawan tekstil di Pintu Kecil, kini menggebrak pasar properti Indonesia dengan beberapa megaproyek properti di Jakarta, termasuk sejumlah hotel.

Usahawan generasi kedua lainnya yang mempunyai kinerja mengilap ialah Muchtar Widjaja, salah seorang putra pendiri Grup Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja. Muchtar kini memimpin PT Duta Pertiwi Tbk. Muchtar kerap disebut sebagai salah seorang pencetus trade center. Trade center-nya a yang fenomenal, karena demikian laris dan nilai asetnya makin mahal, adalah ITC Mangga Dua.

Budiarsa Sastrawinata-Rina Ciputra, mantu dan anak sulung usahawan properti Ciputra, juga masuk dalam kelompok generasi kedua itu. Budiarsa pernah memimpin Bumi Serpong Damai (BSD) cukup lama. Ia kini memegang sejumlah proyek perumahan Grup Ciputra dan megaproyek properti di Hanoi, Vietnam. Sementara Rina, yang juga memegang proyek perumahan, mendirikan Century 21 di Indonesia. Anak-anak Ciputra yang lain, di antaranya Yunita dan Cakra juga menunjukkan talenta yang tinggi dalam memimpin perusahaan.

Eiffle dan Irene Tedja, juga termasuk generasi kedua yang mempunyai kinerja menawan. Menjadikan Surabaya sebagai pusat kegiatan bisnis, putra dan putri pasangan pebisnis properti Alexander dan Melinda Tedja ini menyertai orang tuanya membangun sejumlah proyek besar di Surabaya di antaranya Tunjungan Plaza, apartemen, Sheraton, Pakuwon Trade Center, dan Supermal Pakuwon.

Dua anak muda yang masing-masing berusia 27 tahun dan 23 tahun ini masih sering terlihat di proyek mereka pada pukul 07.00 dan pukul 22.00.

Pebisnis generasi kedua lainnya, yang menunjukkan kinerja bagus adalah anak-anak Sugianto Kesuma. Sugianto yang disertai anak-anaknya membangun beberapa proyek besar di antaranya Dharmawangsa Square, Kelapa Gading Square, dan Mangga Dua Square (share dengan pemain properti lain).

Dalam beberapa kasus, generasi kedua pebisnis Indonesia, sesekali dipandang dari sudut pandang sinisme. Ini karena mereka kerap kali "menghabiskan" atau "membelanjakan" uang hasil keringat ayahnya, sang generasi pertama.

Namun, dalam kasus generasi kedua pebisnis properti Indonesia malah mempunyai "kurs" amat tinggi karena mampu membangun proyek-proyek fenomenal, yang menjadi trend properti, bukan saja di Indonesia, melainkan setidaknya di Asia Tenggara.

HAL yang sungguh menarik ditunggu ialah bagaimana putra-putra generasi kedua tersebut bertarung dalam sebuah kompetisi bisnis yang amat ketat. Siapa yang paling mampu menunjukkan kemampuan, paling bisa mengendalikan rentang bisnis yang amat lebar, atau siapa yang berjalan di depan dalam hal ide-ide brilian.

Aspek menarik lain untuk diamati dari kompetisi bisnis properti di Indonesia ialah betapa generasi kedua ini mampu menyelusup di antara banyak pemain besar properti. Mereka bahkan menjadi pemain-pemain yang andal.

Pengamat dan konsultan properti, Panangian Simanungkalit, bahkan berani menyatakan bahwa pemain properti terkuat di Indonesia hari-hari ini ialah Trihatma Haliman. Ukuran Simanungkalit, antara lain, ialah besaran nilai proyek atau besaran kapitalisasi pasar yang dihasilkan.

"Kalau saya tak salah hitung, Trihatma dan grupnya tengah mengerjakan proyek senilai delapan triliun rupiah, sebagian besar di Jakarta. Ia praktis berada di papan atas pebisnis properti Indonesia, sekarang ini," tutur Panangian Simanungkalit.

"Kapitalisasi sebesar itu, sungguh bukan angka main-main, ibarat investor besar dunia datang ke Indonesia menanamkan sahamnya," kata Simanungkalit menambahkan.

Megaproyek Trihatma (sebagian share dengan usahawan lain) di antaranya ialah Mangga Dua Square, Plaza Semanggi, The Pakubuwono Residence, apartemen Tanjung Duren, Menteng, Gading Mediterania, dan Permata Mediterania. Proyek terbarunya di Jalan Sudirman, Jakarta, The Peak, akan menjadi gedung kembar tertinggi di Indonesia, masing-masing 55 lantai.
Sedikit di bawah Trihatma Haliman terdapat sederet pemain besar properti dengan nilai proyek atau kapitalisasi dana antara empat sampai enam triliun rupiah. Mereka adalah Jan Darmadi yang bermain di proyek-proyek hotel bintang lima, gedung-gedung perkantoran, Mega Kebon Jeruk, Setia Budi Atrium, dan sebagainya.

Lalu Gunarso dari Grup Gapura Prima, yang membangun 13 proyek besar. Ia di antaranya membangun The Bellezza Permata Hijau, The Bellagio (Residence dan Mansion), Serpong Town Square, Sugianto Kusuma yang di antaranya bermain di SCBD, Mangga Dua, dan Kelapa Gading.
Pemain properti lain yang berada di lingkungan proyek empat sampai enam triliun rupiah ialah Tan Kian, yang di antaranya bermain di wilayah Mega Kuningan, JW Marriot, dan Ritz Carlton. PT Duta Pertiwi, Muchtar Widjaja, dan kawan-kawan yang berjalan di depan dalam hal pusat perdagangan.

Kemudian Alex dan Melinda Tedja dari Pakuwon Jati yang membangun Tunjungan Plaza (I-IV), Sheraton, Pakuwon Trade Center, Supermal, dan sebagainya. Grup Ciputra yang bangkit lagi dengan membangun sejumlah proyek di Surabaya, Jakarta, dan Hanoi.

SISI lain yang menarik diamati dari para pemain properti tersebut ialah sikap diam dan tidak ingin muncul dalam pusat pemberitaan media massa. Mereka lebih suka bertarung dalam diam.
Salah seorang pemain senior properti yang enggan disebut namanya menyebutkan, ia dan pemain properti lainnya enggan muncul di media massa, simply, karena pemain di bisnis ini tidak suka menonjolkan diri. "Kami lebih suka menggebrak pasar properti dengan proyek-proyek layak jual," kata pemain senior properti ini. "Kepuasan pemain properti terletak di situ, bukan publisitasnya," katanya menambahkan.

Seorang lagi, masih berusia 27 tahun, master dari Amerika Serikat, anak dari salah seorang raja properti Indonesia, menyatakan, ia tidak suka muncul di pentas publik karena merasa apa yang dilakukannya masih jauh dari ukuran sukses. "Karena itu, please, jangan dulu sebut nama saya. Saya malu pada leluhur karena masih begini saja," ujar anak muda yang berwajah ganteng ini. Tentu saja ia merendah sebab ayahnya mempercayakan ia mengemudikan aneka proyek dengan skala investasi hampir dua triliun rupiah.

TERLEPAS dari pelbagai masalah tersebut, tidak ada salahnya jika para pemain properti ini, tidak selalu berdiri sendiri. Ada baiknya untuk satu dua proyek prestisius, mereka bergabung dalam sebuah konsorsium besar untuk mendirikan, misalnya, gedung tertinggi di dunia, sebagaimana dikerjakan Taiwan tahun lalu.

Proyek The Peak, misalnya, daripada membangun dua menara setinggi 55 lantai, mengapa tidak terpikirkan untuk membangun satu menara saja, setinggi 110 lantai?

Sejumlah usahawan pernah bersama-sama hendak membangun menara tertinggi di dunia, di bekas bandara Kemayoran. Akan tetapi, ketika baru mencapai tahap penyelesaian fondasi, pembangunan menara itu terhenti akibat krisis ekonomi yang hebat. Mungkin baik kalau proyek itu ditinjau untuk dibangun kembali.

Tidak ada salahnya jika masalah mega proyek ini menjadi bahan pemikiran bersama. (ABUN SANDA).

About media

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: