Serangan udara Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran atas desakan Israel menjadi pemantik ketegangan baru di kawasan Timur Tengah. Di balik aksi militer itu, tersimpan strategi geopolitik yang lebih besar. Langkah ini tidak hanya sebatas menghancurkan fasilitas strategis Iran, tetapi juga membuka jalan bagi Israel untuk memperluas pengaruhnya dan kemungkinan memulai invasi bertahap ke wilayah Iran melalui jalur proxy di perbatasan Irak dan Iran.
Modus cipta kondisi seperti ini sejatinya bukan hal baru. Sejarah mencatat, saat invasi ke Irak, Amerika Serikat terlebih dahulu mencuci otak dan menggiring opini publik bahwa pemerintahan Saddam Hussein hanya mementingkan keluarga sendiri dan membiarkan rakyat sengsara. Propaganda itu terus digencarkan, hingga akhirnya membuat banyak pejabat Irak membelot dan rakyat yang lelah perang bersikap apatis saat pasukan asing memasuki Baghdad.
Hal yang sama pernah terjadi di Libya. Muammar Khaddafi yang dulunya dielu-elukan rakyatnya, pelan-pelan dicitrakan sebagai diktator haus kekuasaan yang menindas rakyat. Padahal saat itu, kondisi Libya terbilang makmur dibanding negara Afrika Utara lainnya. Namun, opini yang terus dibentuk melalui media internasional dan jejaring sosial membuat banyak rakyatnya lupa bahwa ada sumber daya alam yang diincar pihak luar.
Kini pola serupa coba diterapkan ke Iran. Namun, medan yang dihadapi jauh berbeda. Rakyat Iran telah terbiasa hidup di bawah tekanan sanksi ekonomi sejak revolusi 1979. Mereka tahu bahwa kesulitan ekonomi yang dialami bukan karena pemerintahnya semata, melainkan akibat blokade dan embargo bertahun-tahun yang dipaksakan negara Barat.
Cipta kondisi pasca serangan itu sudah mulai terlihat di perbatasan Irak dan Iran. Milisi-milisi pro-AS yang diinfiltrasi Mossad mulai digerakkan di kawasan itu untuk memancing kekacauan kecil yang bisa menjadi alasan intervensi lebih luas. Skema ini biasanya diawali dengan serangkaian provokasi bersenjata, sabotase fasilitas publik, gejala take down opini di media sosial hingga penyebaran isu sektarian antara etnik dan kelompok masyarakat.
Dalam proses cipta kondisi, propaganda berperan besar. Media sosial, saluran berita berbahasa Arab, hingga influencer diaspora akan digerakkan untuk menyebarkan narasi bahwa pemerintah Iran gagal melindungi rakyatnya. Isu kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan sosial akan terus digoreng untuk menggerus kepercayaan publik pada pemerintah.
Pola penggembosan psikologis juga akan dilakukan terhadap pejabat militer dan politik Iran. Seperti di Irak dan Libya, upaya untuk membujuk elite-elite tertentu agar membelot atau setidaknya pasif menghadapi serangan sangat mungkin terjadi. Ancaman sanksi personal, pembekuan aset, hingga janji suaka politik menjadi alat tawar-menawar yang kerap digunakan.
Di ruang publik, opini tentang ketidakefektifan pemerintahan Iran akan digencarkan. Potret kehancuran ekonomi dan keterpurukan rakyat akan ditampilkan berulang-ulang, sambil menyembunyikan fakta bahwa kesulitan itu diakibatkan blokade Barat, bukan sepenuhnya akibat kebijakan dalam negeri Teheran.
China, dalam pernyataannya, mengecam keras serangan AS dan menyebut aksi itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Beijing menilai serangan itu bukan hanya merusak stabilitas kawasan, tetapi juga bisa menciptakan efek domino konflik di kawasan sekitarnya. China menyerukan semua pihak, khususnya Israel, untuk menghentikan aksi militer dan memulai dialog damai.
Di balik kecaman internasional, beberapa negara Arab tetap bungkam. Meski di ruang tertutup banyak yang khawatir atas dominasi Israel, namun ketergantungan ekonomi dan politik terhadap AS membuat sebagian besar negara Teluk memilih diam. Posisi ini justru memberi ruang lebih luas bagi Israel dan sekutunya untuk melancarkan strategi geopolitik berikutnya.
Dalam skema cipta kondisi, infiltrasi kelompok bersenjata bayaran juga jadi bagian penting. Milisi di Irak, Kurdistan, dan Baluchistan diduga akan digerakkan untuk melakukan serangan-serangan sporadis ke wilayah Iran. Skema ini digunakan untuk melemahkan kontrol pemerintah di kawasan perbatasan, sekaligus membuka jalan bagi operasi militer skala kecil.
Iran, yang memahami betul pola ini, telah meningkatkan patroli dan pengamanan di sepanjang perbatasan. Teheran juga mulai memperkuat aliansi militernya dengan Rusia dan China, sembari menggalang solidaritas dari penjuru dunia. Teheran tak ingin pengalaman Irak dan Libya terulang di negeri mereka.
Isu SARA dan sektarian juga menjadi senjata ampuh dalam cipta kondisi. Ketegangan antara suku, kelompok minoritas dan pengungsi akan dipantik dengan berbagai insiden teror, ledakan bom, dan pembunuhan tokoh agama. Tujuannya jelas, menciptakan kekacauan domestik yang bisa dijadikan alasan intervensi kemanusiaan oleh kekuatan asing.
Narasi tentang perlunya “penyelamatan rakyat Iran dari kediktatoran” kemungkinan besar akan kembali diusung seperti saat menggulingkan Saddam dan Khaddafi. Narasi ini akan didukung opini bahwa rakyat Iran menunggu kehadiran asing untuk membebaskan mereka, padahal kenyataannya, mayoritas rakyat Iran menentang campur tangan luar.
Iran juga menghadapi tantangan dalam dunia maya. Operasi cyber untuk melumpuhkan sistem komunikasi, listrik, dan fasilitas penting akan terus diintensifkan. Tujuan utamanya membuat rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada kemampuan pemerintah dalam melindungi mereka.
Namun, berbeda dengan Irak dan Libya, propaganda Barat kali ini menghadapi tantangan berat. Karena puluhan tahun di bawah sanksi, rakyat Iran justru terbiasa menghadapi kesulitan bersama pemerintahnya. Tingkat nasionalisme dan kesadaran geopolitik rakyat Iran dinilai jauh lebih tinggi dibanding Irak atau Libya sebelum invasi.
Serangan dan cipta kondisi pasca pemboman ini juga diperkirakan akan memicu pergeseran geopolitik. Beberapa negara seperti Turki, Pakistan, hingga negara-negara Asia Tengah kemungkinan akan terpaksa bersikap lebih tegas, mengingat stabilitas Iran sangat berpengaruh bagi keamanan kawasan mereka.
Wajah Timur Tengah kini perlahan membentuk ulang. Jika skema cipta kondisi ini berhasil, Iran bisa mengalami nasib seperti Irak dan Libya. Tapi jika gagal, justru akan melahirkan poros perlawanan baru yang lebih solid di kawasan, dengan Iran sebagai pusat perlawanan terhadap dominasi AS dan Israel. Pertarungan ini baru saja dimulai.
0 Comments