Jika teori The Enemy as a System ala Kolonel John Warden diterapkan dalam potensi invasi Irael yanh didukung AS dkk ke Iran dalam kondisi geopolitik saat ini, skenarionya akan sangat berbeda dibanding saat diterapkan ke Irak atau Libya. Iran bukan negara lemah, dan sejak lama sudah mempersiapkan diri menghadapi berbagai bentuk serangan, termasuk serangan decapitation atau pemenggalan kepemimpinan yang jadi inti strategi Warden.
Dalam skema lima lingkaran Warden, target utama serangan adalah kepemimpinan Iran — yakni para petinggi di Teheran, mulai dari Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei, presiden, menteri pertahanan, hingga panglima IRGC. Serangan udara presisi, drone bunuh diri, atau rudal jarak jauh bisa diarahkan ke markas komando, gedung kementerian, dan jaringan komunikasi strategis di ibu kota.
Namun, tidak seperti Irak 1991 atau Libya 2011, Teheran punya pengalaman panjang menghadapi skenario semacam ini. Sejak Revolusi 1979, Iran telah memecah sistem komando militernya ke berbagai zona. Selain itu, IRGC dan milisi-milisi sekutu seperti Basij dll menjadi lapisan keamanan tambahan yang sulit ditembus.
Jika AS dan Israel menerapkan skema ini, lingkaran kedua yang berisi fasilitas infrastruktur penting — seperti PLTN Bushehr, situs nuklir Fordow, bendungan utama, jaringan listrik Teheran, serta pelabuhan minyak di Kharg dan Bandar Abbas — akan jadi target berikutnya. Serangan ke fasilitas ini ditujukan untuk menciptakan efek kejut dan kekacauan sipil.
Iran sudah mengantisipasi hal ini dengan membangun terowongan bawah tanah, pusat cadangan bahan bakar, dan generator listrik alternatif. Komando militer Iran juga punya markas bawah tanah di beberapa wilayah pegunungan. Situs nuklir Fordow, misalnya, terletak di dalam gunung, membuat serangan udara biasa sulit menembusnya.
Di lingkaran ketiga — populasi sipil — propaganda akan dimainkan untuk melemahkan semangat rakyat. Isu kemiskinan, korupsi elite, dan perbedaan faksi politik akan diangkat melalui media asing dan media sosial, agar warga Iran lupa bahwa tujuan invasi sebenarnya adalah membuat Iran menjadi negara gagal, penjarahan dan perampokan SDA Iran yang kaya. Iran sudah mengalami fase semacam ini dalam beberapa dekade terakhir, terutama selama kerusuhan domestik dan kampanye sanksi ekonomi.
Untuk mengantisipasi, pemerintah Iran sejak lama membangun sistem kontrol informasi yang ketat, memblokir sebagian platform asing, serta mengaktifkan media nasional dan jaringan ulama untuk menjaga narasi di dalam negeri. Jika terjadi serangan, media pemerintah dipastikan segera menkonter cuci otak asing dan menekankan bahwa ini adalah agresi imperialis terhadap kedaulatan bangsa.
Lingkaran keempat, yakni militer aktif, akan tetap jadi benteng terakhir. Iran memiliki ribuan rudal balistik dan drone kamikaze yang bisa membalas ke Israel dan pangkalan AS di kawasan. Sejumlah skenario pembalasan telah disiapkan, mulai dari serangan ke Tel Aviv hingga menghantam pangkalan AS di Irak dan Qatar jika serangan decapitation terjadi.
Karena pengalaman panjang menghadapi sanksi dan ancaman militer, Iran memprioritaskan sistem desentralisasi komando. IRGC, angkatan darat, dan angkatan udara memiliki komando regional mandiri. Jika Teheran lumpuh, unit-unit ini tetap bisa beroperasi tanpa instruksi pusat, mencegah efek paralysis total seperti yang dikhawatirkan skema Warden.
Untuk meminimalisasi korban sipil, pemerintah Iran kemungkinan besar akan menerapkan pengamanan sipil seperti pemadaman listrik selektif, mengevakuasi kawasan strategis, menutup bandara sipil, serta menempatkan baterai anti-rudal di dekat kawasan permukiman penting. Sistem rudal Bavar-373 dan Khordad-15 sudah ditempatkan di sekitar Teheran.
Di sisi publik, kampanye persatuan nasional akan segera digencarkan. Pemerintah Iran biasa memanfaatkan momentum agresi asing untuk membangkitkan nasionalisme. Saat serangan Israel dan AS terjadi di situs nuklir beberapa waktu lalu, ribuan warga Iran tumpah ruah di jalan membawa poster anti-Israel dan AS.
Iran juga bisa memanfaatkan kekuatan diplomasi untuk menjaga simpati dunia. Tujuannya, memaksa AS dan Israel menyebar kekuatan militernya ke berbagai front, sehingga tak mampu fokus hanya ke Teheran atau situs strategis.
Yang paling penting, Iran punya pengalaman panjang menghadapi isolasi. Rakyatnya menyadari bahwa banyak penderitaan ekonomi yang mereka alami bersumber dari embargo, bukan murni kesalahan pemerintah. Hal ini membuat propaganda Barat untuk menggulingkan rezim dengan memanfaatkan kemarahan publik tak semudah di Irak atau Libya.
Secara logistik, Iran telah menyebarkan gudang senjata, pusat komando alternatif, dan jaringan terowongan bawah tanah di sekitar Qom, Mashhad, Isfahan, dan daerah pegunungan Zagros. Ini adalah antisipasi jika Teheran lumpuh akibat skema decapitation.
Selain itu, kerugian sipil bisa ditekan dengan cara menyelamatkan arsip digital negara, pengamanan rumah sakit, dan pengaktifan sistem distribusi logistik darurat yang disiapkan pasukan Basij. Rakyat Iran pun terbiasa melakukan pelatihan darurat sejak masa Perang Iran-Irak.
Jika skema lima lingkaran Warden diterapkan sekarang, peluang keberhasilannya di Iran sangat kecil. Karena negara ini tidak sepenuhnya terpusat di satu kota atau pada satu kelompok elite. Sistem komando tersebar, masyarakatnya terlatih menghadapi sanksi, dan pengalaman perang membuat mereka siap menghadapi kondisi terburuk.
Jadi, berbeda dengan Irak 1991 atau Libya 2011, efek decapitation attack ke Teheran maupun The Dahiya doctrine yang dikembangkan Israel, justru bisa memperkuat semangat perlawanan nasional dan memperluas konflik ke wilayah lain. Skema teror ini mungkin akan lebih banyak memakan korban sipil akibat serangan ke infrastruktur, namun Iran tampaknya punya cukup persiapan untuk meminimalisasi korban manusia dan kerusakan strategis.
0 Comments