Home
✦
✦ Unlabelled
✦ First Pacific Conglomerates
First Pacific Conglomerates
Posted by: media Posted date: 11:39 PM / comment : 0
Catatan George Aditjondro dari Filipina (1)
Keseriusan Melacak Penjarahan Marcos
BANYAK orang kini makin skeptis
terhadap usaha pemerintahan BJ Habibie
mengusut kekayaan rakyat Indonesia
yang dijarah keluarga Soeharto dan para
kroninya. Berulang-ulang saya
mendengar atau membaca kasus pengejaran harta
Marcos dikemukakan sebagai
pembanding.
Terakhir, misalnya, saya membaca di
sebuah harian terbitan Ibu Kota, 4
Januari lalu, Prof Dr Nurcholish Madjid
mencontohkan proses penyidikan
terhadap mantan presiden Filipina itu,
yang menurut pendapat dia, "masih
sebatas isu, padahal kejadiannya sudah
berlangsung belasan tahun''.
Dalam berbagai wawancara dengan media
Indonesia, saya juga kerap ditantang
membandingkan usaha Pemerintah
mengembalikan harta rakyat yang dijarah keluarga Soeharto
dan konco-konconya, dengan usaha serupa dari Pemerintah
Filipina, sejak zaman Cory Aquino sampai sekarang (Joseph Estrada).
Sebagai "anjing pelacak'' kekayaan Soeharto, sekaligus
dosen mata kuliah sosiologi korupsi di Universitas Newcastle,
Australia, perbandingan itu tentu sangat menarik hati saya.
Kesempatan untuk melakukan studi banding itu baru terbuka pertengahan
Desember lalu, ketika kawan-kawan di Manila mengundang saya
berkunjung ke sana.
Hampir 20 tahun saya tak berkunjung ke sana. Sebelumnya,
April 1998, saya mendapat undangan ke sana. Tapi karena paspor
saya saat itu dibekukan Konsul Jenderal (Konjen) RI di Sydney,
atas perintah langsung dari Jakarta, undangan itu terpaksa
saya tolak.
Kebetulan, undangan kali ini berkaitan dengan dugaan
korupsi kedua mantan presiden itu. Salah seorang bekas kroni Marcos,
Eduardo "Danding'' Cojuangco, diduga pernah mengambil alih saham
mayoritas perusahaan telekom terbesar di Filipina,
Philippine Long Distance Telephone (PLDT), berkat intervensi Marcos,
hanya dua bulan sesudah dia menjadi presiden.
Intervensi tingkat tinggi untuk mengalihkan saham
maskapai Amerika, General Electric, ke Danding Cojuangco dilakukan
Marcos untuk mencegah saham PLDT jatuh ke lawan politiknya,
Benigno (Ninoy) Aquino, yang waktu itu bersekutu dengan sepupu
Danding, Ramon Cojuangco.
Salim Group
Pertengahan November lalu, sejumlah saham Danding
Cojuangco diambil alih First Pacific Group. Konglomerat yang
berbasis di Hong Kong itu adalah salah satu "kapal induk'' Salim Group di
luar negeri, di mana saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono, memiliki
saham 10%.
Dengan kata lain, kontrol terhadap perusahaan telkom
terbesar di Filipina itu telah beralih dari seorang bekas kroni
Marcos ke keluarga Soeharto serta kroni terkayanya, Liem Sioe Liong alias
Sudono Salim. Atau tepatnya, Anthony Salim, putra mahkota Salim
Group, yang dikenal di Manila sangat dekat dengan Dirut First
Pacific, Manuel Pangilinan. Keduanya masih bujangan dan sering
berjumpa di Hong Kong untuk urusan dinas atau pribadi.
Pembelian saham menentukan (controlling shares) PLDT itu
membuka mata berbagai kelompok progresif di Filipina, betapa
dalam penetrasi perusahaan milik keluarga Soeharto ke dalam
ekonomi nasional Filipina.
Dengan jatuhnya PLDT dalam kekuasaan kelompok First
Pacific, praktis keluarga Soeharto menguasai berbagai bisnis
pertelekomunikasian di negara itu, dari pengelolaan
telepon seluler (ponsel) sampai satelit komunikasi. Sebab anak perusahaan
First Pacific di Manila, yakni Metro Pacific, juga memiliki
perusahaan ponsel terbesar di negeri itu, Smart Communications.
Kemudian satelit komunikasi Filipina, Mabuhay I, yang
baru diluncurkan dari Cina pada Agustus 1998, 51% sahamnya
milik PLDT. Sedangkan sisa sahamnya dibagi rata oleh lima
perusahaan Filipina, satu BUMN Cina, dan PT Pasifik Satelit
Nusantara.
Perusahaan itu, sebagaimana kita ketahui, adalah usaha
patungan Bimantara dengan Perum Telkom dan raksasa telekomunikasi
AS, Hughes Space and Communications Inc. Jadi, baik Anthony
Salim, bos First Pacific, maupun Adi Rahman Adiwoso, bos PT
Pasifik Satelit Nusantara, dapat ikut menentukan jatuh-bangun
bisnis telekomunikasi di Filipina.
Dari sana PLDT juga telah memperlebar sayap ke kawasan
Asia Pasifik. Sebab PLDT dan Pasifik Satelit Nusantara juga
menjadi pemegang saham Asia Cellular Satelit (Aces), bersama
perusahaan telekomunikasi Thailand, Jasmine International Overseas
Company, serta raksasa telekomunikasi AS lain, Lockheed Martin.
Dengan berbasis di Pulau Batam, Aces punya rencana
meluncurkan dan mengelola satu satelit komunikasi yang lain,
Garuda-1, yang bakal melayani 600.000 sambungan telepon seluler tersebar
dari India sampai Pasifik. Sedangkan PLDT terlibat dalam komunikasi
kabel laut sepanjang 3.600 km dari Provinsi Batangas di Luzon
Selatan sampai ke Pulau Guam -jajahan AS di Samudera Pasifik-
terus ke Taiwan.
Jaringan Luas
Dengan luasnya jaringan telekomunikasi yang kini ikut
dikontrol oleh keluarga Cendana di Filipina, setiap kali orang
menekan tombol telepon di negeri itu, baik untuk sambungan lokal maupun
jarak jauh, mereka pun ikut meluncurkan sejumlah peso ke kas pribadi
keluarga Cendana.
Itu baru keterlibatan perusahaan keluarga Cendana di
bidang telekomunikasi. Sebab, First Pacific juga mewakili
ekspansi Salim Group ke berbagai bidang lain, dari bisnisnya yang juga
terpopuler di Indonesia, yakni mi siap hidang, hingga properti berupa
pengalihfungsian satu instalasi militer warisan Spanyol,
Fort Bonifacio.
Proyek properti seluas 214 ha di jantung Makati, kawasan
perdagangan Manila, yang akan mengubah bekas benteng
Spanyol itu menjadi global city senilai 10 miliar dollar AS, juga
sudah memperlebar sayap ke selatan.
Fort Bonifacio Development Corporation, yang dipimpin
seorang
manajer First Pacific, Ricardo S Pascua, juga terlibat
dalam
pembangunan kawasan pertokoan berlantai 16 di kota Davao,
Mindanao.
Itu hanya satu contoh kecil bagaimana bisnis keluarga
Cendana ikut
memetik hasil dari perdamaian antara Manila dan
gerilyawan
Bangsa Moro pimpinan Nur Misuari, bekas dosen ilmu
politik di
Universitas Filipina.
Sementara itu, Chempil Corporation, anak perusahaan First
Pacific,
juga sedang membangun pusat olefin raksasa di bekas
pangkalan
Angkatan Udara AS di Subic. Pabrik bahan baku plastik
bernilai 450
juta dolar itu merupakan usaha patungan dengan
Petrochemicals
Corporation (Filipina), BP Chemicals (Inggris), Fister
Wheeer (AS),
serta Itochu dan Sumitomo (Jepang), dijadwalkan mulai
berproduksi
sebelum tahun 2000, sebanyak 500.000 ton etilena per
tahun.
Lalu, Group Citra yang dipimpin Ny Siti Hardiyanti
Rukmana
(Tutut) menguasai 55% saham dalam Metro-Manila Skyway,
proyek
jalan layang sepanjang 27 km dari Manila ke utara, yang
bakal
menelan biaya 514 juta dollar AS.
Bertepatan dengan hari kedatangan saya, Presiden Joseph
Estrada
meresmikan tahap I jalan layang itu sepanjang 4,7 Km. Dia
menyetir
jeepney, kendaraan khas Filipina. Satu-satunya penumpang
adalah
mantan presiden Fidel Ramos, yang menandatangani
perjanjian
built, operate, and transfer (BOT) proyek jalan layang
itu bersama
Tutut, empat tahun sebelumnya.
Belum lagi keterlibatan Bambang Trihatmodjo di luar
bidang satelit
komunikasi. Lewat PT Elnusa, usaha patungan antara
Pertamina
dan PT Tridaya Esta (milik Bambang Trihatmodjo dan Indra
Bambang Utoyo), pengusaha muda dari Cendana itu juga
memiliki
kilang penyulingan minyak di Pulau Nonoc, selatan Manila.
Investasi bernilai 2,2 miliar dollar AS itu akan
menghasilkan 120.000
barel BBM sehari.
Dengan demikian, setiap pengendara mobil di Manila yang
bakal
lalu lalang di jalan layang Metro-Manila, untuk
menghindari
kemacetan lalu lintas kota raya itu, yang sudah melebihi
kemacetan
lalu lintas di Jakarta, seumur kontrak BOT itu akan
menambah
kekayaan Tutut dan Bambang.
Ulangi Dominasi
Di sisi lain, kilang BBM di Nonoc dengan mudah akan
berintegrasi
dengan pusat olefin First Pacific di Teluk Subic,
sehingga keluarga
Cendana dapat mengulangi sejarah dominasinya terhadap
industri
petrokimia dari hulu sampai hilir seperti di Indonesia.
Secara tak langsung, Bambang juga punya saham di Asia
Pacific
Infrastructure Ltd (APIL). Perusahaan multinasional yang
bermodal
di Singapura, Filipina, dan Australia itu sedang terlibat
dalam
pembangunan instalasi air minum raksasa di kota Cebu,
dengan
mengalirkan air tawar dari Pulau Bohol lewat pipa ke kota
terbesar
kedua di Filipina itu.
Bersama kroninya, Johannes Kotjo, Bambang punya saham
APIL
melalui perusahaan Van der Horst yang berbasis di
Singapura.
Maskapai multinasional itu terlibat pula dalam
pembangunan
pembangkit listrik untuk pabrik tekstil PT APAC, yang
diambil alih
duet Bambang Trihatmodjo-Johannes Kotjo dari Robby
Tjahjadi,
setelah pengusaha avonturir asal Sala itu tak dapat
melunasi utang ke
Pemerintah.
Karena dua tahun lalu saya sudah menulis laporan di media
cetak
Filipina soal invasi modal perusahaan keluarga Cendana ke
negeri
itu, kawan-kawan saya dari gerakan Demokrasi Kerakyatan
(Popular
Democracy) di Manila mengundang saya untuk membeberkan
kepentingan bisnis Cendana di sana.
Kedatangan saya, 10 Desember lalu, didahului dengan
wawancara di
halaman depan koran terbesar di sana, Philippine Daily
Inquirer,
Minggu dan Senin sebelumnya. Maka berbagai wawancara
dengan
media elektronik dan cetak sudah disiapkan. Begitu pula
pertemuan
dengan kelompok bisnis, anggota parlemen, kalangan
cendekiawan,
dan tentu saja mahasiswa Indonesia yang belajar di
Universitas
Filipina, Universitas Ateneo, dan Universitas Santo
Thomas.
Untunglah, saat itu menjelang Natal, manakala banyak
orang sibuk
berbelanja dan para pegawai sudah mulai berpesta di
kantor,
sehingga jumlah kencan yang harus saya ikuti agak
dibatasi.
Dengan demikian, kepentingan saya untuk meneliti usaha
orang
Filipina untuk mengusut dan mengembalikan kekayaan rakyat
mereka yang dijarah keluarga dan kroni Marcos masih dapat
saya
lakukan pula. Saya berhasil mengumpulkan sejumlah
literatur
tentang itu, serta mewawancarai Ketua I Komisi
Kepresidenan untuk
Pemerintahan Bersih (PCGG), yakni bekas senator Jovito
(Jovy)
Salonga.
Dari literatur dan wawancara itu, ada dua hal yang dapat
saya
simpulkan. Pertama, gambaran yang diberikan pers di
Indonesia
tentang apa yang dicapai dalam usaha perebutan kembali
harta
rakyat Filipina yang dijarah mendiang Marcos dan kliknya
terlalu
pesimistis. Sebentar lagi saya akan uraikan apa yang
telah direbut
kembali itu. Kedua, apa yang telah dicapai merupakan
sinergi antara
tekad pemerintahan Filipina pasca-Marcos dan rintisan
gerakan
oposisi di saat Marcos berkuasa. Kesimpulan kedua itu
sangat
membedakan kasus Filipina dari kasus Indonesia.
Hasil itu dicapai berkat kesigapan Presiden Cory Aquino
untuk
membentuk PCGG, sebagai keputusannya yang pertama pada 28
Februari 1986, atau dua hari setelah Marcos
digulingkan.
Keseriusan Melacak Penjarahan Marcos
BANYAK orang kini makin skeptis
terhadap usaha pemerintahan BJ Habibie
mengusut kekayaan rakyat Indonesia
yang dijarah keluarga Soeharto dan para
kroninya. Berulang-ulang saya
mendengar atau membaca kasus pengejaran harta
Marcos dikemukakan sebagai
pembanding.
Terakhir, misalnya, saya membaca di
sebuah harian terbitan Ibu Kota, 4
Januari lalu, Prof Dr Nurcholish Madjid
mencontohkan proses penyidikan
terhadap mantan presiden Filipina itu,
yang menurut pendapat dia, "masih
sebatas isu, padahal kejadiannya sudah
berlangsung belasan tahun''.
Dalam berbagai wawancara dengan media
Indonesia, saya juga kerap ditantang
membandingkan usaha Pemerintah
mengembalikan harta rakyat yang dijarah keluarga Soeharto
dan konco-konconya, dengan usaha serupa dari Pemerintah
Filipina, sejak zaman Cory Aquino sampai sekarang (Joseph Estrada).
Sebagai "anjing pelacak'' kekayaan Soeharto, sekaligus
dosen mata kuliah sosiologi korupsi di Universitas Newcastle,
Australia, perbandingan itu tentu sangat menarik hati saya.
Kesempatan untuk melakukan studi banding itu baru terbuka pertengahan
Desember lalu, ketika kawan-kawan di Manila mengundang saya
berkunjung ke sana.
Hampir 20 tahun saya tak berkunjung ke sana. Sebelumnya,
April 1998, saya mendapat undangan ke sana. Tapi karena paspor
saya saat itu dibekukan Konsul Jenderal (Konjen) RI di Sydney,
atas perintah langsung dari Jakarta, undangan itu terpaksa
saya tolak.
Kebetulan, undangan kali ini berkaitan dengan dugaan
korupsi kedua mantan presiden itu. Salah seorang bekas kroni Marcos,
Eduardo "Danding'' Cojuangco, diduga pernah mengambil alih saham
mayoritas perusahaan telekom terbesar di Filipina,
Philippine Long Distance Telephone (PLDT), berkat intervensi Marcos,
hanya dua bulan sesudah dia menjadi presiden.
Intervensi tingkat tinggi untuk mengalihkan saham
maskapai Amerika, General Electric, ke Danding Cojuangco dilakukan
Marcos untuk mencegah saham PLDT jatuh ke lawan politiknya,
Benigno (Ninoy) Aquino, yang waktu itu bersekutu dengan sepupu
Danding, Ramon Cojuangco.
Salim Group
Pertengahan November lalu, sejumlah saham Danding
Cojuangco diambil alih First Pacific Group. Konglomerat yang
berbasis di Hong Kong itu adalah salah satu "kapal induk'' Salim Group di
luar negeri, di mana saudara sepupu Soeharto, Sudwikatmono, memiliki
saham 10%.
Dengan kata lain, kontrol terhadap perusahaan telkom
terbesar di Filipina itu telah beralih dari seorang bekas kroni
Marcos ke keluarga Soeharto serta kroni terkayanya, Liem Sioe Liong alias
Sudono Salim. Atau tepatnya, Anthony Salim, putra mahkota Salim
Group, yang dikenal di Manila sangat dekat dengan Dirut First
Pacific, Manuel Pangilinan. Keduanya masih bujangan dan sering
berjumpa di Hong Kong untuk urusan dinas atau pribadi.
Pembelian saham menentukan (controlling shares) PLDT itu
membuka mata berbagai kelompok progresif di Filipina, betapa
dalam penetrasi perusahaan milik keluarga Soeharto ke dalam
ekonomi nasional Filipina.
Dengan jatuhnya PLDT dalam kekuasaan kelompok First
Pacific, praktis keluarga Soeharto menguasai berbagai bisnis
pertelekomunikasian di negara itu, dari pengelolaan
telepon seluler (ponsel) sampai satelit komunikasi. Sebab anak perusahaan
First Pacific di Manila, yakni Metro Pacific, juga memiliki
perusahaan ponsel terbesar di negeri itu, Smart Communications.
Kemudian satelit komunikasi Filipina, Mabuhay I, yang
baru diluncurkan dari Cina pada Agustus 1998, 51% sahamnya
milik PLDT. Sedangkan sisa sahamnya dibagi rata oleh lima
perusahaan Filipina, satu BUMN Cina, dan PT Pasifik Satelit
Nusantara.
Perusahaan itu, sebagaimana kita ketahui, adalah usaha
patungan Bimantara dengan Perum Telkom dan raksasa telekomunikasi
AS, Hughes Space and Communications Inc. Jadi, baik Anthony
Salim, bos First Pacific, maupun Adi Rahman Adiwoso, bos PT
Pasifik Satelit Nusantara, dapat ikut menentukan jatuh-bangun
bisnis telekomunikasi di Filipina.
Dari sana PLDT juga telah memperlebar sayap ke kawasan
Asia Pasifik. Sebab PLDT dan Pasifik Satelit Nusantara juga
menjadi pemegang saham Asia Cellular Satelit (Aces), bersama
perusahaan telekomunikasi Thailand, Jasmine International Overseas
Company, serta raksasa telekomunikasi AS lain, Lockheed Martin.
Dengan berbasis di Pulau Batam, Aces punya rencana
meluncurkan dan mengelola satu satelit komunikasi yang lain,
Garuda-1, yang bakal melayani 600.000 sambungan telepon seluler tersebar
dari India sampai Pasifik. Sedangkan PLDT terlibat dalam komunikasi
kabel laut sepanjang 3.600 km dari Provinsi Batangas di Luzon
Selatan sampai ke Pulau Guam -jajahan AS di Samudera Pasifik-
terus ke Taiwan.
Jaringan Luas
Dengan luasnya jaringan telekomunikasi yang kini ikut
dikontrol oleh keluarga Cendana di Filipina, setiap kali orang
menekan tombol telepon di negeri itu, baik untuk sambungan lokal maupun
jarak jauh, mereka pun ikut meluncurkan sejumlah peso ke kas pribadi
keluarga Cendana.
Itu baru keterlibatan perusahaan keluarga Cendana di
bidang telekomunikasi. Sebab, First Pacific juga mewakili
ekspansi Salim Group ke berbagai bidang lain, dari bisnisnya yang juga
terpopuler di Indonesia, yakni mi siap hidang, hingga properti berupa
pengalihfungsian satu instalasi militer warisan Spanyol,
Fort Bonifacio.
Proyek properti seluas 214 ha di jantung Makati, kawasan
perdagangan Manila, yang akan mengubah bekas benteng
Spanyol itu menjadi global city senilai 10 miliar dollar AS, juga
sudah memperlebar sayap ke selatan.
Fort Bonifacio Development Corporation, yang dipimpin
seorang
manajer First Pacific, Ricardo S Pascua, juga terlibat
dalam
pembangunan kawasan pertokoan berlantai 16 di kota Davao,
Mindanao.
Itu hanya satu contoh kecil bagaimana bisnis keluarga
Cendana ikut
memetik hasil dari perdamaian antara Manila dan
gerilyawan
Bangsa Moro pimpinan Nur Misuari, bekas dosen ilmu
politik di
Universitas Filipina.
Sementara itu, Chempil Corporation, anak perusahaan First
Pacific,
juga sedang membangun pusat olefin raksasa di bekas
pangkalan
Angkatan Udara AS di Subic. Pabrik bahan baku plastik
bernilai 450
juta dolar itu merupakan usaha patungan dengan
Petrochemicals
Corporation (Filipina), BP Chemicals (Inggris), Fister
Wheeer (AS),
serta Itochu dan Sumitomo (Jepang), dijadwalkan mulai
berproduksi
sebelum tahun 2000, sebanyak 500.000 ton etilena per
tahun.
Lalu, Group Citra yang dipimpin Ny Siti Hardiyanti
Rukmana
(Tutut) menguasai 55% saham dalam Metro-Manila Skyway,
proyek
jalan layang sepanjang 27 km dari Manila ke utara, yang
bakal
menelan biaya 514 juta dollar AS.
Bertepatan dengan hari kedatangan saya, Presiden Joseph
Estrada
meresmikan tahap I jalan layang itu sepanjang 4,7 Km. Dia
menyetir
jeepney, kendaraan khas Filipina. Satu-satunya penumpang
adalah
mantan presiden Fidel Ramos, yang menandatangani
perjanjian
built, operate, and transfer (BOT) proyek jalan layang
itu bersama
Tutut, empat tahun sebelumnya.
Belum lagi keterlibatan Bambang Trihatmodjo di luar
bidang satelit
komunikasi. Lewat PT Elnusa, usaha patungan antara
Pertamina
dan PT Tridaya Esta (milik Bambang Trihatmodjo dan Indra
Bambang Utoyo), pengusaha muda dari Cendana itu juga
memiliki
kilang penyulingan minyak di Pulau Nonoc, selatan Manila.
Investasi bernilai 2,2 miliar dollar AS itu akan
menghasilkan 120.000
barel BBM sehari.
Dengan demikian, setiap pengendara mobil di Manila yang
bakal
lalu lalang di jalan layang Metro-Manila, untuk
menghindari
kemacetan lalu lintas kota raya itu, yang sudah melebihi
kemacetan
lalu lintas di Jakarta, seumur kontrak BOT itu akan
menambah
kekayaan Tutut dan Bambang.
Ulangi Dominasi
Di sisi lain, kilang BBM di Nonoc dengan mudah akan
berintegrasi
dengan pusat olefin First Pacific di Teluk Subic,
sehingga keluarga
Cendana dapat mengulangi sejarah dominasinya terhadap
industri
petrokimia dari hulu sampai hilir seperti di Indonesia.
Secara tak langsung, Bambang juga punya saham di Asia
Pacific
Infrastructure Ltd (APIL). Perusahaan multinasional yang
bermodal
di Singapura, Filipina, dan Australia itu sedang terlibat
dalam
pembangunan instalasi air minum raksasa di kota Cebu,
dengan
mengalirkan air tawar dari Pulau Bohol lewat pipa ke kota
terbesar
kedua di Filipina itu.
Bersama kroninya, Johannes Kotjo, Bambang punya saham
APIL
melalui perusahaan Van der Horst yang berbasis di
Singapura.
Maskapai multinasional itu terlibat pula dalam
pembangunan
pembangkit listrik untuk pabrik tekstil PT APAC, yang
diambil alih
duet Bambang Trihatmodjo-Johannes Kotjo dari Robby
Tjahjadi,
setelah pengusaha avonturir asal Sala itu tak dapat
melunasi utang ke
Pemerintah.
Karena dua tahun lalu saya sudah menulis laporan di media
cetak
Filipina soal invasi modal perusahaan keluarga Cendana ke
negeri
itu, kawan-kawan saya dari gerakan Demokrasi Kerakyatan
(Popular
Democracy) di Manila mengundang saya untuk membeberkan
kepentingan bisnis Cendana di sana.
Kedatangan saya, 10 Desember lalu, didahului dengan
wawancara di
halaman depan koran terbesar di sana, Philippine Daily
Inquirer,
Minggu dan Senin sebelumnya. Maka berbagai wawancara
dengan
media elektronik dan cetak sudah disiapkan. Begitu pula
pertemuan
dengan kelompok bisnis, anggota parlemen, kalangan
cendekiawan,
dan tentu saja mahasiswa Indonesia yang belajar di
Universitas
Filipina, Universitas Ateneo, dan Universitas Santo
Thomas.
Untunglah, saat itu menjelang Natal, manakala banyak
orang sibuk
berbelanja dan para pegawai sudah mulai berpesta di
kantor,
sehingga jumlah kencan yang harus saya ikuti agak
dibatasi.
Dengan demikian, kepentingan saya untuk meneliti usaha
orang
Filipina untuk mengusut dan mengembalikan kekayaan rakyat
mereka yang dijarah keluarga dan kroni Marcos masih dapat
saya
lakukan pula. Saya berhasil mengumpulkan sejumlah
literatur
tentang itu, serta mewawancarai Ketua I Komisi
Kepresidenan untuk
Pemerintahan Bersih (PCGG), yakni bekas senator Jovito
(Jovy)
Salonga.
Dari literatur dan wawancara itu, ada dua hal yang dapat
saya
simpulkan. Pertama, gambaran yang diberikan pers di
Indonesia
tentang apa yang dicapai dalam usaha perebutan kembali
harta
rakyat Filipina yang dijarah mendiang Marcos dan kliknya
terlalu
pesimistis. Sebentar lagi saya akan uraikan apa yang
telah direbut
kembali itu. Kedua, apa yang telah dicapai merupakan
sinergi antara
tekad pemerintahan Filipina pasca-Marcos dan rintisan
gerakan
oposisi di saat Marcos berkuasa. Kesimpulan kedua itu
sangat
membedakan kasus Filipina dari kasus Indonesia.
Hasil itu dicapai berkat kesigapan Presiden Cory Aquino
untuk
membentuk PCGG, sebagai keputusannya yang pertama pada 28
Februari 1986, atau dua hari setelah Marcos
digulingkan.
About media
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Latest
Popular Posts
-
DI dunia remang-remang, nama "Gang of Nine" menjadi legenda. Dibekingi Keluarga Cendana dan petinggi militer, segala sepak terjang...
-
Jaringan Sembilan Naga menembus berbagai daerah di Indonesia. Upeti untuk pejabat militer, kepolisian, atau pemda, membuat bisnis ini kian k...
-
TOMMY Winata sedang melakoni sebuah pepatah Cina. Nasib orang, kata ungkapan kuno itu, seperti roda pedati: sekali waktu di atas, sekali wak...
No comments:
Post a Comment